Pertanyaan: Saya ingin bertanya tentang anak yang dari awal disekolahkan di SLB, apakah kelak ketika dewasa atau balig tidak dikenai syari’at?
Jawaban:
Mukallaf secara bahasa adalah berbentuk isim al-maf’ûl dari fi’il al-mâdli “kallafa” (كَلَّفَ), yang bermakna membebankan.
Maka, kata mukallaf berarti orang yang dibebani.
Secara istilah, mukallaf adalah :
الإنسان الذي تعلق بفعله خطاب الشارع أو حكمه”
“Seorang manusia yang mana perlakuannya itu bergantungan dengan ketentuan al-Syâri’ atau hukumnya”.
Dari sini, dapat difahami bahwa mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya.
Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung-jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Pahala akan didapatkan kalau ia melakukan perintah Allah SWT, dan dosa akan dipikulnya kalau ia meninggalkan perintah Allah SWT, begitu seterusnya sesuai dengan kriteria hukum taklîfî yang sudah diterangkan.
Sebagian besar ulama Usul Fiqh mengatakan bahwa dasar adanya taklîf (pembebanan hukum) terhadap seorang mukallaf adalah :
1. akal (العقل)
2. pemahaman (الفهم).
Seorang mukallaf dapat dibebani hukum apabila ia telah berakal dan dapat memahami taklîf secara baik yang ditujukan kepadanya.
Oleh karena itu, orang yang tidak atau belum berakal tidak dikenai taklîf / “Tidak dikenai Pembebanan Hukum” karena mereka dianggap tidak dapat memahami taklîf dari al-Syâri’.
Termasuk ke dalam kategori ini adalah orang yang sedang tidur, anak kecil, gila, mabuk, khilaf dan lupa.
Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق ; رواه البخاري وأبو داوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني
“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (orang); orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”
(رفع أمتي عن الخطأ والنسيان وما استكره له (رواه ابن ماجة والطبراني
“Beban hukum diangkat dari umat-ku apabila mereka khilaf, lupa dan terpaksa”.
Dari sini, Ulama Usul Fiqh memberi kesimpulan bahwa syarat seseorang itu dikenai taklîf atau masuk sebagai predikat mukallaf terdapat dua syarat:
1. Orang tersebut harus mampu memahami dalil-dalil taklîf.
Ini dikarenakan taklîf itu adalah khitâb, sedangkan khitâb orang yang tidak memiliki akal dan tidak faham itu jelas tidak mungkin (محال).
Kemampuan memahami itu hanya dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk memahami dan menemukan ide (الإدراك).
Hanya saja akal itu adalah sebuah perkara yang abstrak (الخفية).
Maka al-Syâri’ sudah menentukan batas taklîf dengan perkara lain yang jelas dan berpatokan (منضبط) yaitu :
sifat baligh seseorang.
Sifat baligh itu adalah tempat pemikiran akal yaitu mengetahui baik, buruk, manfaat, dan bahaya.
Maka orang yang gila dan anak kecil tidak termasuk Mukallaf karena tidak memiliki kemampuan akal yang mencukupi untuk memahami dalil taklîf.
Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk seperti hadis yang di atas.
2. Seseorang telah mampu bertindak hukum/mempunyai kecakapan hukum (أهلية).
Secara istilah, ahliyyah didefinisikan sebagai:
“Kepatutan seseorang untuk memiliki beberapa hak dan melakukan beberapa transaksi”.
Ta’rif yang disampaikan Imam Auza’i (ushul Fiqh)
المكلفين : الإنسان البالغ العاقل الذي بلغته الدعوة
Mukallaf adalah :
orang yang baligh serta berakal dan sampai kepadanya da’wah islam
[ Ustadz Mufid Syafi’i. Staf Pengajar Ponpes Riyadhul Jannah,Surakarta ]
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id