Pertanyaan: Langsung saja saya bertanya tentang Qodhla sholat, jika dalam keadaan sakit yang cukup parah maka hanya bisa sholat lihurmatil wakti. Nah jika sudah sembuh maka harus mengqodha, seumpama yang harus diqodhla cukup banyak sedangkan mengqodhla harus disegerakan. Bolehkah mengqodhla sholat dengan duduk “padahal sanggup berdiri” jika merasa kelelahan karena mengqodhla cukup banyak?
Jawaban:
Shalat lima waktu adalah salah satu rukun Islam. Shalat lima waktu hukumnya Fardhu Ain, yaitu wajib dilaksanakan oleh semua orang Islam yang mukallaf (baligh dan berakal/sadar). Shalat lima waktu ini memiliki waktu tertentu dalam pelaksanaannya. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 103 ;
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً
Artinya : Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.(QS. An-Nisa : 103).
Ibn Masud, Ibn Abbas, Mujahid, dan Ibn Qutaibah mengatakan yang dimaksud dengan kata موقوتا كتابا adalah shalat wajib dilaksanakan pada waktu yang telah diketahui ; Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, Shubuh.
Penanya yang kami hormati, jika ada alasan yang menyebabkan shalat itu tidak terlaksana pada waktunya maka mayoritas ulama mengatakan wajib Qadha’. Ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW ;
من نسي صلاة فليصل إذا ذكر
Artinya: Barang siapa tidak melaksanakan shalat karena lupa maka segeralah dia shalat kalau sudah ingat.(Muttafaq alaih).
Dalam hadits tersebut yang dimaksudkan adalah orang yang lupa. Kemudian bagaimana dengan orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat? Imam Ibn Hajar dalam Fathul Bari juz 2 hal. 71 mengatakan ;
وَادَّعَى بَعْضُهُمْ أَنَّ وُجُوبَ الْقَضَاءِ عَلَى الْعَامِدِ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ نَسِيَ لِأَنَّ النِّسْيَانَ يُطْلَقُ عَلَى التَّرْكِ سَوَاءٌ كَانَ عَنْ ذُهُولٍ أَمْ لَا
Artinya; sebagian ulama berpendapat bahwa wajib Qadha’ bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja diambil dari kata نسي (artinya : lupa) karena yang dimaksud lupa dalam hal ini adalah meninggalkan shalat baik itu karena linglung atau sadar.
Kemudian, Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab Juz 3 hal. 68 mengatakan ;
فرع- أَجْمَعَ الَّذِيْنَ يُعْتَدُّ بِهِمْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلاَةً عَمْدًا لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا وَخَالَفَهُمْ أَبُوْ مُحَمَّدٍ عَلِيُّ ابْنُ حَزْمٍ قَالَ: لاَ يُقَدَّرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا وَلاَ يَصِحُّ فِعْلُهَا أَبَدًا قَالَ بَلْ يُكْثِرُ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَالتَّطَوُّعِ لِيَثْقُلَ مِيْزَانُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَسْتَغْفِرُ اللهَ تَعَالَى وَيَتُوْبُ وَهَذَا الَّذِيْ قَالَهُ مَعَ أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِلْإِجْمَاعِ بَاطِلٌ مِنْ جِهَةِ الدَّلِيْلِ
Artinya : Para ulama mu’tabar telah sepakat, bahwa barangsiapa meninggalkan shalat secara sengaja, maka ia harus meng-Qadha’ (menggantinya). Pendapat mereka ini berbeda dengan pendapat Abu Muhammad Ali bin Hazm yang berkata: bahwa ia tidak perlu meng-Qadha selamanya dan tidak sah melakukannya selamanya, namun ia sebaiknya memperbanyak melakukan kebaikan dan shalat sunnah agar timbangan (amal baiknya) menjadi berat pada hari kiamat, serta istighfar kepada Allah dan bertobat. Pendapat ini bertentangan dengan ijmak dan bathil berdasarkan dalil yang ada.
Penanya yang budiman, dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa shalat fardhu yang ditinggalkan harus di-Qadha’ baik itu ditinggalkan karena lupa ataupun disengaja.
مباحث قضاء الصلاة الفائتة حكمه
قضاء الصلاة المفروضة التي فاتت واجب على الفور سواء فاتت بعذر غير مسقط لها أو فاتت بغير عذر أصلا باتفاق ثلاثة من الأئمة ( الشافعية قالوا : إن كان التأخير بغير عذر وجب القضاء على الفور وإن كا…ن بعذر وجب على التراخي
BAHASAN QADHA SHALAT.
Hukum mengqadha shalat fardhu menurut kesepakatan tiga madzhab (Hanafi, Maliki dan Hanbali) adalah wajib dan harus dikerjakan sesegera mungkin baik shalat yang ditinggalkan sebab adanya udzur (halangan) atau tidak. Sedangkan menurut Imam Syafi’i Qadha shalat hukumnya wajib dan harus dikerjakan sesegera mungkin bila shalat yang ditinggalkan tanpa adanya udzur dan bila karena udzur, qadha shalatnya tidak diharuskan dilakukan sesegera mungkin. [ Al-Fiqh ‘alaa Madzaahiba l-Arba’ah I/755 ].
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa sallam bersabda :
.مَنْ صَلَّى قَائِماً فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِداً فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِماً فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ
Barangsiapa shalat dengan berdiri, maka itulah shalat yang paling utama, sedangkan seseorang yang shalat dengan duduk, maka pahalanya setengah dari pahala orang yang shalat dengan berdiri. Dan barangsiapa shalat dengan berbaring, maka pahalanya setengah dari pahala orang yang shalat dengan duduk. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Ketika menjelaskan hadits di atas, Imam Nawawi berkata :
وَهذَا الْحَدِيْثُ مَحْمُوْلٌ عَلَى صَلاَةِ النَّفْلِ قَاعِداً مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْقِيَامِ فَهذَا لَهُ نِصْفُ ثَوَابِ الْقَائِمِ، وَأَمَّا إِذَا صَلَّى النَّفْلَ قَاعِداً لِعَجْزِهِ عَنِ الْقِيَامِ فَلاَ يَنْقُصُ ثَوَابُهُ بَلْ يَكُوْنُ كَثَوَابِهِ قَائِماً، وَأَمَّا الْفَرْضُ فَإِنَّ الصَّلاَةَ قَاعِداً مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَى الْقِيَامِ لَمْ يَصِحَّ فَلاَ يَكُوْنُ فِيْهِ ثَوَابٌ بَلْ يَأْثَمُ بِهِ
Hadits ini ditujukan untuk shalat Sunnah yang dilakukan dengan duduk sedangkan ia sebenarnya mampu untuk berdiri, sehingga ia hanya mendapatkan pahala setengah pahala orang yang shalat Sunnahnya dengan berdiri.
Adapun seseorang yang shalat Sunnah dengan duduk karena ia tidak mampu berdiri, maka pahalanya tidak berkurang, ia akan mendapatkan pahala sama dengan orang yang shalat Sunnah dengan berdiri.
Sedangkan seseorang yang shalat wajib dengan duduk padahal ia mampu berdiri, maka shalatnya tidak sah, ia tidak mendapatkan pahala, bahkan ia berdosa. (Lihat Yahyâ bin Syaraf An-Nawawî, Syarhul Muslim, Dârul Fikr, Juz.6, hal.8)
[Uatadz Ali Mustofa, Staff Pengajar ponpes Riyadhul Jannah]
Shalat fardhu adalah kewajiban yang waktunya telah di tentukan oleh Allah dalam Alqur’an
إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا
Maka bagi orang yang meninggalkan waktu shalat atau ia telah melakukannya tetapi tidak sah, maka wajib untuk mengqodha’. Dalam mengqodha’ memang disunnahkan untuk menyegerakannya, namun jika yang di Qodha’i itu banyak maka boleh di kerjakan dengan cara sedikit demi sedikit tidak langsung banyak. Contoh di setiap waktu shalat ia shalat 2x satu untuk shalat wajibnya dan satu untuk Qodhanya. Sebagaimana yang di anjurkan oleh Imam Abdullah Bin Alwi Al Haddad untuk tidak memberatkan dalam masalah ini.
ويلزم التائب أن يقضي ما فرط فيه من الواجبات كالصلاة و الصوم والزكاة وما لا بد له منه، ويكون عل التراخي والإستطاعة من غير تضييق ولا تساهل، فإن الدين متين وقد قا النبي صلى الله عليه وسلم: “بعثت بالحنيفية السمحاء” وقال” يسرو ولا تعسرو”.
Mengenai hukum shalat duduk dalam mengqodho banyak shalat maka hal itu;
1. Tidak diperbolehkan, karena bagian dari rukun shalat adalah berdiri bagi yang mampu di dalam shalat fardhu, kecuali bagi orang yang udzur tidak bisa berdiri, udzur tidak bisa berdiri mempunyai beberapahal ketentuan termasuk ia susah untuk berdiri karena sakit yang termasuk udzur tayammum seperti bertambah penyakitnya, lamanya proses penyembuhan atau datangnya penyakit baru karenanya.
ضابط العجز أن تلحقه مشقة شديدة، بحيث يخاف منها محذور التيمم، كزيادة مرض او بطء الشفاء، او حدوث شين فاححش في عضو ظاهر، أو فقد منفعة عضو، أو كانت مشقة لا تحمل عادة.
2. Diperbolehkan menurut imam Ramli karena alasan tidak bisa khusyu’ ketika berdiri. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat Ibn Hajar.
تقريرة السديدة ج١ ص٢١٤ وعند الرملي يجوز له أن يجلس إذا لحقته مشقة تذهب الخشوع، خلافا لابن حجر.
[Ustadz Laili Badruddin. Tim Tafaqquh Ponpes Riyadhul Jannah]
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id