Pertanyaan: Bolehkah suami melakukan jima’ dengan istri setelah suci dari haidh, tapi belum mandi besar.?
Jawaban:
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmatnya kepada kita semua. Praktik hubungan badan antara suami-istri harus dilakukan dalam kondisi istri suci dari haidh dan nifas. Hal ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 222 berikut ini:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ :البقرة:222/2
Artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah: Itu adalah kotoran. Maka jauhilah perempuan saat haidh. Jangan kalian dekati mereka hingga mereka suci. Kalau mereka telah suci, maka datangilah mereka dari jalan yang Allah perintahkan kepadamu. Sungguh Allah menyukai orang yang bertobat dan orang yang bersuci,’” (Surat Al-Baqarah ayat 222). Adapun perihal praktik hubungan badan setelah istri selesai haidh sebelum mandi junub, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa sebelum hubungan badan, perempuan tersebut harus mandi wajib atau mandi junub terlebih dahulu.
ولم يجز الجمهور غير أبي حنيفة إتيانها حتى ينقطع الحيض، وتغتسل بالماء غسل الجنابة
Artinya, “Mayoritas ulama selain Abu Hanifah, tidak membolehkan hubungan badan seseorang dengan istrinya hingga darah haidh itu benar-benar berhenti dan istrinya mandi wajib terlebih dahulu,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 553).
Namun dalam kitab Fath al-mui’in terdapat keterangan bahwa Imam Jalaluddin as-Suyuthy menghalalkan jima’ setelah berhentinya haidh meskipun belum mandi.
وقال في فتح المعين أعلى الصفحة من اعانة الطالبين 1/85 ما نصه ويحرم به (أي بالحيض) ما يحرم بالجنابة … واذا انقطع دمها حل لها قبل الغسل صوم لا وطء حلافا لما بحثه العلامة الجلال السيوطي رحمه الله وقال في اعانة الطالبين 1/85 قوله (خلافا لما بحثه العلامة الجلال السيوطي) أي من حل الوطء أيضا بالانقطاع اهـ
Dalam kitab fathul muin dijelaskan: Dan haram sebab haidh semua yang diharamkan sebab junub, dan ketika darahnya sudah bersih maka halal baginya sebelum mandi untuk berpuasa tidak halal jima’. Haramnya jima’ ini berbeda dengan pendapat imam Jalaluddin As-Suyuthi. [ I’anah at-Thaalibiin I/85 ].
وإذا طهرت من الحيض وتم الإستبراء بقي تحريم الوطء حتى تغتسل ويحل الإستمتاع قبل الغسل على الصحيح.
Dan bila ia telah suci dari haidhnya, sempurna istibra’nya maka masih tetap hukum keharaman menggaulinya hingga ia melaksanakan mandi. Dan halal mencumbuinya (bukan setubuh, sekedar frenc kiss misalnya) sebelum ia mandi menurut pendapat yang shahih. [ Raudhah at-Thoolibiin III/263 ].
فَائِدَةٌ ) الْوَطْءُ قَبْلَ الْغُسْلِ فِي الْحَيْضِ أَوْ بَعْدَهُ يُورِثُ الْجُذَامَ فِي الْوَلَدِ كَمَا قِيلَ ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ)
[ FAEDAH ] Menyetubuhi istri sebelum ia mandi saat haidh atau setelah usai haidh menyebabkan penyakit lepra pada anak seperti dikatakan oleh sebuah pendapat. Wallaahu A’lam. [ Hasyiyah al-Qalyubi II/52 ].
مسألة : قال : فان انقطع دمها فلا توطأ حتى تغتسل وجملته أن وطء الحائض قبل الغسل حرام وان انقطع دمها في قول أكثر أهل العلم قال ابن المنذر : هذا كالإجماع منهم وقال أحمد بن محمد المروذي : لا أعلم في هذا خلافا وقال أبو حنيفة : أن انقطع الدم لأكثر من الحيض حل وطؤها وان انقطع لدون ذلك لم يبح حتى تغتسل أو تتيمم أو يمضي عليها وقت صلاة لأن وجوب الغسل لا يمنع من الوطء بالجنابة ولنا قول الله تعالى : { ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فاتوهن من حيث أمركم الله } يعني إذا اغتسل هكذا فسره ابن عباس ولأن الله تعالى قال في الآية : { ويحب المتطهرين } فأثنى عليهم فيدل على أنه فعل منهم أثنى عليهم به وفعلهم هو الاغتسال دون انقطاع الدم فشرط لأباحة الوطء شرطين انقطاع الدم والاغتسال فلا يباح إلا بهما
Masalah: “Saat darah haidhnya telah berhenti maka haram menggaulinya hingga ia menjalani mandi”Sesungguhnya menggauli istri yang haidh sebelum ia mandi adalah haram meskipun darahnya telah berhenti, ini pendapat mayoritas Ahl Ilmu. Ibn al-Mundzir berkata “Masalah ini seperti terjadi kesepakan dari kalangan ulama”Ahmad Bin Muhammad al-marwadzi berkata “Aku tidak melihat dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat”
Sedang Abu Hanifah (Hanafiyyah) berkata “Bila darah telah terputus pada masa lebih banyak ketimbang masa haidhnya boleh menggaulinya namun bila kurang masanya dari masa haidnya maka tidak boleh hingga ia menjalani mandi atau tayammum atau telah berlalu waktu shalat karena waktu kewajiban mandi tidak terhalang dari persetubuhan sebab janabat.
Allah berfirman :“Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” (QS. 2:222). Artinya bersuci adalah saat mereka telah mandi, demikian penafsiran Ibn Abbas ra.
Dan karena Allah berfirman :“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. 2:222). Lihatlah dalam ayat ini Allah memuji mereka, pujian Allah berarti atas perbuatan yang telah mereka kerjakan yakni mandi bukan atas perbuatan yang mereka tidak kerjakan yakni terputusnya darah haid (karena yang demikian bersifat alami).
Dengan demikian diperbolehkannya menggauli istri yang haidh bila telah terpenuhi dua syarat “Berhenti haidnya dan telah mandi” dan tidak diperbolehkan tanpa keduanya. [ Al-Mugni I/387 ].
Hukum Menjima’ Istri Ketika Masih Dalam Keadaan Haidh.
Memberi nafkah biologis suatu keharusan bagi pasangan suami-istri. Sebab itu, keduanya harus mengetahui batasan dan ketentuan berhubungan badan menurut hukum Islam. Dalam ajaran Islam, besetubuh (jima’) pada saat istri haidh tidak diperbolehkan/ haram. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
ويسئلونك عن المحيض، قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض، ولا تقربوهن حتى يطهرن
Artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah kotoran’. Maka dari itu, hendaklah kamu menjauhi istrimu (tidak bersetubuh) pada saat haidh. Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci,” (Al-Quran Al-Baqarah ayat 222).
Ayat ini digunakan oleh para ulama’ sebagai dalil keharaman bersetubuh pada saat istri datang bulan. Perlu ditegaskan, yang diharamkan di sini hanyalah bersetubuh, tetapi kedua pasangan tidak diharamkan bermesraan. Terkait persoalan ini, ‘Aisyah pernah ditanya:
هل يباشر الرجل امرأته وهي حائض؟ فقالت: لتشدد إزارها على أسفلها ثم يباشرها إن شاء
Artinya, “Apakah boleh seorang suami berhubungan badan dengan istrinya yang sedang haidh/ menstruasi? Jawab ‘Aisyah, ‘Hendaklah sang istri mengencangkan kain bagian bawahnya, kemudian bermesraanlah dengan suami, bila ia menghendaki,” (HR Imam As-Syafi’i dalam Musnad Al-Syafi’i).
Hadits ini menjelaskan kebolehan bermesraan suami-istri selama tidak terjadi jima’. Istri diharapkan untuk tetap menjaga bagian bawahnya agar suaminya tidak keteledoran. Namun pertanyaannya, bagaimana bila suami menggunakan kondom? Syekh Nawawi Banten dalam Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadiin berpendapat:
والذي يحرم بالحدث الأكبر ثلاثة عشر شيئا هذه الثمانية على الوجه المتقدم فيها. والتاسع: الوطء ولو بحائل ولو بعد انقطاع الدم وقبل الغسل، وهو كبيرة من العامد العالم بالتحريم المختار
Artinya, “Sesuatu yang diharamkan bagi orang yang berhadats besar ada 13 perkara. Delapan perkara sudah disebutkan di awal, sementara yang kesembilan adalah bersetubuh, meskipun menggunakan ‘penghalang yang tebal (seperti kondom)’ atau setelah darah haidhnya berhenti dan belum mandi besar. Melakukan ini (bersenggama saat istri haidh) termasuk dosa besar bagi orang yang mengetahui keharamannya dan ia melakukannya dengan sengaja.”
يكفر مستحله إذا كان قبل الإنقطاع وقبل بلوغ عشر أيام وإلا فلا يكفر للخلاف فيه حينئذ، ومحل الكفر بالإستحلال أيضا إن كان في بلد معلوم عندهم حرمة ذلك بالضرورة وإلا فلا كفر كبعض البلاد الذين يجهلون حرمة ذلك، ومحل حرمته إذا لم يخف الزنا
Orang yang menghalalkan hukumnya kafir apabila darah haidh belum terputus dan belum sampai 10 hari, maka tidak dihukumi kafir bagi orang yang tidak menghalalkannya karena ada perbedaan pendapat para ulama’, orang yang menghalalkan dianggap kufur juga apabila ia berada di satu negeri yang sudah dimaklumi menurut mereka tentang keharaman melakukan hubungan saat haidh, maka tidak dihukumi kafir seperti sebagian negeri yang tidak mengetahui keharaman berbuat hal demikian, dan dihukumi haram juga apabila tidak takut berbuat zina.
Menurut Syekh Nawawi, keharaman bersetubuh pada saat istri haidh tidak dapat ditawar lagi, karena ini termasuk bagian dari dosa besar. Tetapi, ia mengecualikan bagi orang yang dikhawatirkan bila tidak bersetubuh, maka ia akan terjerumus pada perzinaan. Beliau menuliskan:
فإن خافه وتعين الوطء في الحيض طريقا لدفعه جاز لأنه إذا تعارض على الشخص مفسدتان قدم أخفهما ولو تعارض عليه الوطء في الخيض والاستمناء بيده فالذي يظهر أنه يقدم الاستمناء فإن الوطء في الحيض متفق على أنه كبيرة بخلاف الاستمناء فإن بعض المذاهب يقول بجوازه عند هيجان الشهوة وهو عند الشافعي صغيرة
Artinya, “Apabila khawatir terjerumus pada perzinaan, sedangkan bersetubuh dengan istri yang sedang haidh itu merupakan satu-satunya jalan alternatif, maka diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada keharusan memilih kemudharatan yang lebih ringan bila terjadi pertentangan antara dua kemudharatan. Apabila ia dihadapkan pada dua pilihan, antara bersetubuh atau masturbasi, maka sebaiknya dia mendahulukan masturbasi. Alasannya, bersetubuh saat istri haidh disepakati keharamannya oleh mayoritas ulama, tetapi masturbasi masih diperdebatkan ulama. Sebagian mengatakan boleh ketika syahwat bergejolak dan dosa kecil menurut Imam As-Syafi’i.” (Nihayatuz Zein hal. 32 cet. Darul fikr)
Perlu digarisbawahi, kendati Syekh Nawawi membolehkan bersetubuh pada saat istri haid, tetapi ia memberi persyaratan yang sangat ketat, yaitu harus dalam kondisi benar-benar dharurat: tidak ada alternatif lain kecuali bersenggama untuk menghindar dari zina. Selama alternatif lain tersebut masih ada, maka sepantasnya tidak melakukan persetubuhan, karena termasuk dosa. Wallahu a’lam..;
[Ustadz Ali Mustofa, Staff Pengajar Ponpes Riyadhul Jannah]
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id