Nama dan Kelahiran Beliau
KH. Maimoen Zubair atau yang biasa disapa akrab dengan Mbah Moen adalah putra pertama dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Beliau dilahirkan di Karang Mangu Sarang hari Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1347 H atau 1348 H bertepatan dengan 28 Oktober 1928.
Keluarga Beliau
Ayahanda Mbah Moen, Kiai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al-Makky. Kedua guru tersebut adalah sosok ulama yang tersohor di Yaman.
Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.
Sifat Dan Karakter
Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.
Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.
Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita beliau sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain.
Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.
Riwayat Pendidikan
Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh (mencari ilmu) ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.
Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.
Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib.
Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al-Fadani dan masih banyak lagi.
Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al-Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh“(mencari ilmu) yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Beliau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma’shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.
Mendirikan Pondok Pesantren
Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.
Putra-Putra Beliau
- KH. Abdullah Ubab
- KH. Gus Najih
- KH. Majid Kamil
- Gus Abd. Ghofur
- Gus Abd. Rouf
- Gus M. Wafi
- Gus Yasin
- Gus Idror
- Nyai Hj. Shobihah Maimoen
- Nyai Rodhiyah
Murid-Murid Beliau
Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah (dididik) dalam pesantren beliau. Sudah
terbukti bahwa ilmu-ilmu yang beliau miliki tidak cuma membesarkan jiwa beliau secara pribadi, tetapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari beliau.
Selama mengasuh dan memimpin Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, Kiai Maimoen Zubair memiliki banyak murid. Tiga santri yang konon pernah dipuji secara langsung ada tiga. Kiai Abdul Wahid Zuhdi dari Tuban karena keluasan ilmunya, Kiai Zuhrul Anam atau Gus Anam dari Banyumas dan Kiai Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha dari Rembang.
Kisah Teladan Beliau
- Sosok Yang Sangat Mencintai dan Menghormati Para Habaib
Pada suatu hari, almarhum Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa datang ke ndalem (bahasa jawa dari rumah) KH Maimoen Zubair Sarang Rembang. Kedatangan Habib Mundzir ini dalam rangka mengundang Mbah Maimoen untuk hadir dalam acara Majlis Rasulullah. Majlis Rasulullah rutin mempunyai acara besar setiap tahun dalam rangka Maulid Kanjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Habib Mundzir menyampaikan undangan, Mbah Maimoen langsung memegang dan mencium undangan tersebut.
“Hadzihi min Rasulillaah, hadzihi min Rasulillaah, Ini dari Rasulullah.. Ini dari Rasulullah,” kata Mbah Maimoen dengan penuh takdzim.
Setelah dirasa cukup dalam pembicaraan, Habib Mundzir minta undur diri. Kemudian Habib Mundzir pamit dengan Mbah Maimoen sembari kembali berharap Mbah Maimoen bisa hadir dalam acara tersebut.
Subhanallah! Akhlaq Habib Mundzir luar biasa. Ketika keluar dari rumah Mbah Maimoen, Habib Mundzir berjalan mundur dengan pelan, tak mau membelakangi Mbah Maimeon, sebagai wujud ekspresi adab terhadap orang alim.
Mbah Maimoen Zubair dikenal sebagai sosok ulama yang sangat mencintai dan menghormati para habaib (dzurriyah Rosulullah). Setiap bertemu habaib, Mbah Maimoen selalu mendahului cium tangan. Itulah contoh akhlaq Mbah Moen terhadap dzurriyah Nabi. Semoga kita bisa mencontoh dan mendapatkan berkah para habaib, ulama’ dan wali Allah. Amiin.
Wafat
Kiai Maimoen Zubair wafat pada 6 Agustus 2019 dalam usia 90 tahun. Kiai Kharismatik ini meninggal pada hari Selasa dan dimakamkan di Ma’la, berdampingan dengan makam guru-gurunya dan satu kompleks dengan makam Sayyidah Khadijah istri Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi Wa Sallam.
Mbah Maimoen pernah mengutarakan bahwa orang alim biasanya wafat pada hari Selasa. Beliau berharap meninggal di hari Selasa seperti kedua orang tuanya. Keinginan ini pun dikabulkan oleh Allah.
Referensi :
www.laduni.id
www.ppalanwar.com
www.sanadmedia.com
Abuya As-Sayyid Alwi bin Ali Alhabsyi saat bersilaturahmi di kediaman KH. Maimoen Zubair, PP Al-Anwar Rembang, Jawa Tengah
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id