Macam Najis Dan Tata Cara Pensucianya
A.TA’RIF NAJIS
Pada hakikatnya Najis adalah sifat yang melekat pada suatu tempat seperti badan, pakaian dan lain lain. Sedangkan secara majas Najis diartikan sebagai bentuk najis itu sendiri.
Adapun menurut bahasa Najis berarti segala sesuatu yang dianggap menjijikan walaupun berasal dari benda yang suci. Sedangkan menurut istilah Najis adalah sesuatu yang terbilang menjijikan yang mencegah sahnya sholat sekiranya tidak ada kemurahan atau kewenangan menunaikan ibadah.
Sesuai pengertian diatas, dikecualikan “ ketika adanya kemurahan atau ruhksoh dalam pelaksanaan ibadah “ seperti ketika ada orang yang akan sholat akan tetapi tidak menemukan air untuk berwudlu dan atau debu untuk bertayamum, sedangkan ia berhadats maka baginya mendapat kemurahan dalam melaksanakan sholat Lihurmatil waqt (menghormati waktu sholat) dengan adanya kewajiban mengulangi atau mengqhodo sholat tadi.
B. PEMBAGIAN NAJIS
Syech Nawawi Al Bantani menuturkan mengenai pembagian najis menurut jenis najis dan tata cara mensucikanya adalah :
1. Najis Mugholadzoh
2. Najis Mukhoffafah
3. Najis Mutawashitoh
B.1. Najis Mugholadzoh
Adalah najis yang berasal dari anjing ( termasuk anjing yang terlatih ) dan babi begitu juga hasil dari salah satu keduanya dengan hewan lain yang sejenis atau hasil kawin dengan hewan yang bukan sejenis.
Hasil Riset Mushonif ( pengarang kitab ini ) menerangkan bahwa “ babi itu lebih rendah tingkahnya dari pada anjing.” Maka tidak hahal memelihara babi dengan alas an dan kondisi apapun meskipun adanya kemanfaatan.
Begitu pula hasil peranakan dari kawin silang antara keduanya [ anjing-babi ] dengan hewan yang suci maka hasil peranakannya dihukumi seperti keduanya [ anjing atau babi ] dalam sifat najisnya, haram disembelih, dikawinkan, dimakan, diqurbankan daan diaqiqahkan dengan alasan : “ Cabang atau Peranakan itu mengikuti pada mana yang lebih rendah dari induknya.”
Dalam kitab Bahrul Khofif Karya Imam Al Jalal As Syuyuthi mengenai Hukum Far’u [ cabang ] pada bab bab fiqih menadzomkan:
Dalam urusan Nasab, Cabang atau Anak mengikuti Nasab Induknya [ Ayah atau pejantan ]
Dalam Status Merdeka atau Budak Mengikuti Status Induknya [ Ibu atau Betina ]
Dalam masalah Zakat [Nishob], Setiap Cabang atau Anak keturunan mengikuti ketentuan induknya. Sedangkan dalam masalah sataus agama mengikuti status agama kedua induk yang lebih tinggi.
Begitu pula masalah fidyah dan diyat [ balasan dan denda] mengikuti ketentuan Orang Tua Atau Induk yang lebih tinggi
Masalah Penghukuman Najis, Kebolehan disembelih, dikawinkan, dimakan dan diqurbankan adalah mengikuti Hukum dari dua induk yang lebih rendah.
Sesuai dengan Qoidah diatas, ketika terjadi perkawinan antara Anjing dengan Kambing maka hasil atau peranakan dari keduanya dihukumi sesuai Induk yaitu yang lebih rendah adalah Anjing [ mugholadzoh] walaupun peranakanya tidak berwujud Anjing bahkan kambing.
Dalam masalah yang lain, ketika ada anak kambing [ cemek.red ]yang menghisap air susu anjing atau babi lalu tumbuh dan berkembang secara normal maka dihukumi tidak najis menurut pendapat yang lebih sah.
Adapun Anjing Ashabul Kahfi dihukumi suci dan masuk surge oleh sebagian ulama. Adapun masalah makna kesucian Anjing Ahshabul Kahfi “ Apakah nanti anjing itu akan dipertemukan dengan Allah dalam keadaan suci atau Apakah Allah akan menghilangkan sifat sifat najisnya ini ?? maka Imam Bajury berpendapat bahwa pilihan kedua lebih jelas yaitu najisnya akan dihilangkan dahulu oleh Allah.”
B.II. NAJIS MUKHOFAFAH
Adalah Air Kencingbayi laki laki [bukan bayi perempuan] yang belum mengkonsumsi selain air susu ibu dan belum berusia genap dua tahun.
Sesuai pengertian diatas Imam An Nawawi membagi menjadi 4 ketentuan;
1) Air kencing [ dikecualikan selain air kencing]
2) Bayi laki laki [ dikecualikan bayi perempuan]
3) Hanya mengkonsumsi ASI
4) Belum berusia 2 tahun
Tidak ada perbedaan antara air susu yang suci atau airs suci yang najis [ baik terkena najis atau berasal dari sesuatu yang najis ] maka hanya ada kewajiban mensucikan mulut si bayi sesuai dengan ketentuan najisnya.
Termasuk dalam kategori Air Susu menurut Imam As Syarqawi adalah ;
· Jubnu [ keju murni ]
· Zubdu [ air susu murni kambing dan sapi ]
· Khotsar [ air susu murni hewan yang berasa masam ]
Dikecualikan lemak walaupun walaupun yang terkandung dalam air susu ibu.
Dalam ketentuan 2 tahun yang dipakai yaitu hitungan hijriyah dengan disertai perkiraan maka tidak menjadikan dhoror [ mukhoffafah menjadi mutawashitoh ] ketika terdapat penambahan 2 hari menurut Imam Syarqawi dan Syaikh Ustman dalam Tuhfah Habib. Sedangkan penambahan 2 hari menjadikan dhoror menurut pendapat yang mu’tamad [dijadikan pegangan hukum] termasuk Imam Asyibromistili dan Imam Qulyubi.
B.III. NAJIS MUTAWASHITOH
Ta’rif simple yang ditulis Beliau Imam Nawawidalam kitab ini adalah Najis selain Mugholadzoh dan Mukhoffafah. Adapun penggunaan Lafald [Saa’ir] pada redaksi kitab dalam tata bahasa arab berarti menyeluruh yaitu seluruh Najis yang bukan termasuk dalam mugholadzoh dan mukhofafah. Pengertian ini didukung dengan Hadist Nabi Muhammad saw, beliau berkata;” Pak Ghailan ketika masuk islam memiliki 10 istri, Lalu Nabi Bersabda;” pilihlah 4 dari mereka dan tinggalkan yang tersisa dari mereka.”
Adapun jika dihitung, Imam Nawawi membagi menjadi 20 macam hadist Mutawashitoh ;
1. Air kencing anak kecil dan dewasa
2. Madzi [ air yang keluar berwarna kuning kental ketika ada kontraksi syahwat atau tidak dalam kondisi sudah baligh ]
3. Wadzi [ air yang keluar berwarna putih adakalanya disaat kencing atau kelelahan membawa sesuatu yang berat ]
4. Kotoran manusia dan hewan .[ adapun memakan dan menggoreng ikan dalam keadaan hidup dan kotoran yang ada dalam perut ikan dihukumi dimaafkan ].
5. Anjing pemburu dan penjaga
6. Babi
7. Anak hasil hubungan gelap antara anjing dan babi dengan hewan yang suci yang tidak berwujud anjing atau babi.
8. Mani yang berasal dari hewan yang boleh dimakan dagingnya atau tidak
9. Ait yang keluar dari dalam tubuh yangluka yang berubah rasa baud an warna. Dikecualikan keringat karena tidak berubah.
10. Nanah [cairan yang bercampur darah]
11. Nanah [ darah yang berubah warna ]
12. Paru paru atau empedu [ boleh dimakan jika berasal dari hewan yang halal dimakan
13. Cairan yang memmabukan dikecualikan kecubung dan kokain
14. Cairan yang keluar dari perut[ lambung]
15. Air susu hewan yang tidak boleh dimakan
16. Bangkai hewan[ selain ikan dan belalang]
17. Darah dikecualikan hati dan limpa. Disyaratkan masih utuh
18. Sesuatu yang keluar dari mulut onta setelah dikunyah atau dikonsumsi [ digayemi.red]
19. Air yang terdapatt bau
20. Asap atau uap yang berasal dari benda yang najis atau yang terkena najis.
Imam Nawawi menjelaskan dalam Kitabnya ini bahwa kotoran Nabi dihukumi suci sebagai wujud kemuliaan derajat beliau. Maka boleh beristinjak dengan kotoran nabi[ bukan kencing].
C. TATA CARA MENSUCIKAN NAJIS
C.I. Tata Cara Mensucikan Najis Mugholadzoh
Dalam kitab susunan Imam Nawawi ini disebutkan bahwa setiap perkara yang terkena najis atau menjadi najis karena terkena liur, air kencing, keringat atau tersentuh oleh badan dalam keadaan basah pada kedua permukaan kulit , akan menjadi suci dengan tujuh kali basuhan dengan tujuan karena ibadah. Maka cukup hanya memperkirakan hilangnya najis dengan membasuh sekali saja yang dapat menghilangkan najis dari segi sifat sifat yang dimiliki.
Membasuh 7 kali najis mugholadzoh dilakukan setelah menghilangkan Ain[ bentuk fisik] dari najis tersebut. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Ibn Hajar Al Haitami [ 909-973 H] dalam Kitab Minhajul Qawim dan Sayyid Al Maraghini dalam karyanya Miftahu Falahil Mubtadi. Keduanya berpendapat bahwa hanya 7 kali basuhan yang dianggap berpengaruh dalam basuhan dalam mensucikan. Setelah menghilangkan najis walaupun najisnya berkali kali yang dihitung hanya satu najis sajadan diperbolehkan membasuh hanya 7 kali walaupun jilatanya berulang ulang atau jilatanya disertai najis lain.
Adapun pendapat yang dibuat pegangan oleh para ulama dan diikuti oleh Imam Nawawi mengatakan bahwa misalnya jika keadaan najis [ain] belum juga hilang kecuali dengan 6 kali basuhan maka hitungan enam kali tersebut dihitung dengan 1 kali basuhan. Begitupun Imam Rofi’I dalam Sayrh Shogir mengomentari kitab Al Wawajir karangan Imam Ghozali membenarkan pendapat tersebut begitupun Pendapat Imam Asnawi dalam Muhimmatul Muhtaj.
Adapun Imam Ibrahim Al Bajury berpendapat bahwa jika sifat itu tidak dapat hilang kecuali dengan 6 kali basuhan maka 6 basuhan itu tetap dihitung 6 kali basuhan. Bukan terhitung sekali basuhan seperti pendapat pertama diatas.
Mencampur 7 kali basuhan dengan debu suci pada salah satu basuhan walau pada basuhan ayang terahir. Akan tetapi yang lebih utama pada basuhan yang pertama.
Ada 3 cara dalam pencampuran debu. Adalah sebagai berikut;
1) Mencampur debu dan air secara bersamaan kemudian meratakan pada bagian najis. Ini cara yang paling utama bahkan Imam Al Asnawi menolak selain menggunakan cara tersebut.
Dalam kondisi ini jika terdapat sifat sifat yang lain [ bukan bentuk asli najsi] kemudian diguyur air campuran debu jika najis itu hilang juga maka terhitng satu kali basuhan. Jika tidak maka tidak terhitung satu kali basuhan.
Dikarenakan yang dimaksud Ain dalam Kalimat ‘ Mazilul Ain “ adalah satu basuhan walaupun banyak terdapat najis yang mengandung beberapa sifat najis daan walaupun tidak terdapat bentuk najis.
2) Dengan cara meletakan atau meratakan debu pada bagian yang terkena najis kemudian disiramkan kemudian keduanya dicampur sebelum membasuh , dalam situasi ini disyaratkan bentuk dan sifat najis sudah hilangbaik rasa , bau dan warna sebelum meletakkan debu.
3) Kebalikan dari tata cara yang kedua yaitu dengan menyiramkan air terlebih dahulu kemudian dicampur debu sebelum dicampur untuk digunakan membasuh seperti keterangan diatas. Tetapi dalam situasi ini tidak disyaratkan hilangnya beberapa sifat najis dan bentuk najis karena air itu lebih kuat dari pada debu bahkan air saja sudah cukup untuk menghilangkan bentuk dan sifat najis.
Adapun debu hanyalah sebagai syarat penyucian najis . adapun sisa basah pada bagian najis itu tidak menjadikan dhoror [ tidak najis] Walaupun masih najis. Karena perkara yang bisa mensucikan yang masih menempel pada tempat najis masih dihukumi suci [ tetap dalam sifatnya ] dikarenakan Sesuatu yang datang tersebut mempunyai kekuatan.
Tidak cukup hanya dengan cara menaburkan debu pada tempat najis tanpa mengikutsertakan airdan tanpa mencampurkan air dengan debu ( debu dengan yang lain ) dan suci seperti mencampur dengan rumput, debu najis, atau debu yang telah digunakan untuk tayamum atau beberapa basuhan ( pemandian ) sepertipemandian anjing.
Imam Nawawi mendifinisikan syarat wajib debu adalah kadar debu yang bisa mengeruhkan air dan dapat menyentuh semua bagian dengan lantaran air ( tidak bersifat pekat) memenuhi konstanta dalam urutan seperti air sungai pada kadar biasanya. Seperti banjir yang tercampur dengan debu walaupun telah diceburkan perkara yang najis kedalam air yang banyak yang keruh kemudian digerakan tujuh kali maka akan menjadi suci menurut redaksi yang telah disebutkan Muallif.
Tanah yang berdebu yakni tanah yang didalamnya terdapat debu murni asal kejadian atau berasal dari tiupan angin secara alamiah. Dalam proses tersebut tidak ada perbedaan antara debu yang najis dan debu yang musta’mal kecuali tanah yang berbatu atau pasir yang tidak terdapat debu lagi maka harus mencampurkan dengan tanah walaupun tanah berdebu yang terkena najis mugholadzoh telah berpindah. Jika ingin mensucikan debu yang berpindah maka tidak wajib memberinya taburan debu. Tetapi jika hendak mensucikan tempat yang dipindahi najis maka wajib mencampur debu.
C.II. Tata Cara Mensucikan Najis Mukhoffafah
Yaitu dengan memercikan air sampai melebihi kadar najis ( Taghlib ) adapun membasuh ( bukan memercikan ) itu terbilang afdhol apabila najis belum tercampur dengan cairan lain. Jika sudah tercampur dengan benda lain maka afdholnya dengan membasuh.
Dalam pensucian najis ini disyaratkan air harus mengenai objek najis secara merata begitu juga dengan memeras air kencing atau dengan mengeringkan tempat najis sampai cairan itu menegering hilang.Berbeda dengan kotoran bayi , air kencing bayi perempuan, tidaklah cukup hanya dengan memercikan air melainkan dengan membasuh.
Imam Nawawi juga mencontohkan “ ketika kamu terkena air kencing bayi laki laki dan kamu bingung ( tidak yakin ) bahwa bayi itu sudah dua tahun atau belum ( sudah lebih dari 2 tahu ) ?! maka Imam Nawawi berpendapat bahwa” tetap wajib membasuh ( bukan memercikan ) karna memercikan air itu merupakan ruhksoh . bendapat ini pula yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
C.III. Tata Cara Mensucikan Najis Mutawasitoh Dibagi menjadi 2 macam :
1. Ainiyah
Secara bahasa berarti bisa diindra ( mata ) adapun dalam istilah adalah najis yang mampu dilihat yang mempunyai sifat sifat yaitu bau rasa dan warna.
Adapun tata cara mensucikan najis ini adalah dengan membasuh benda yang terkena najis sampai hilang sifat sifat yang melekaat kecuali sulit menghilangkannya maka hakikatnya telah dihukumi suci.
2. Hukmiyah
Secara bahasa adalah yang tidak bisa dilihat dengan mata ( hanya hukum najis yang melekat ) sedangkan menurut istilah adalah najis yang tidak memiliki warna rasa dan bau seperti air kencing yang telah kering.
Adapun cara mensucikanya adalah dengan mengalirkan air pada tempat najis walaupun hanya dengan sekali basuhan. Adapun air yang telah digunakan dihukumi tetap suci namun musta’mal.
Ketika ada sesuatu yang bersifat cair terkena najis yang sulit disucikan maka sesuai dengan keterangan diatas. Demikian yang pernah dialami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallama yang kala itu ada tikus mati didalam tempat minyak arab. Kemudian beliau berkata “ Minyak ( tsaman ) ini keras, maka buanglah tikus itu. Jika minyak itu cair maka janganlah mendekat, karena itu najis.
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id