بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَصَلَّى اللّٰهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَآلِهِ الطَّاهِرِيْنَ وَصَحَابَتِهِ أَجْمَعِيْنَ. عَنْ أَبيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقوْلُ: «مَن رَأٰى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذٰلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ» رواه مسلم
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kamu sekalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Bila ia tidak mampu, maka hendaklah ia merubahnya dengan lisannya. Bila ia tidak mampu, maka hendaklah ia merubahnya dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (Hadits Riwayat Muslim)
Pesan hadits di atas ditujukan kepada semua elemen umat Islam yang mampu melakukan tindakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, yakni dari golongan orang-orang mukallaf, dewasa, dan berakal, baik yang secara kasat mata melihat langsung adanya kemungkaran tersebut maupun yang hanya mendengar lewat berita saja. Di sini khithobnya hanya ditujukan kepada umat Islam, karena perintahnya adalah Al-Mukallifin Al-Qadirin Al-Muslimin. Sementara orang-orang non-muslim tidak termasuk dalam konteks hadits ini, akan tetapi bukan berarti dilarang untuk melakukannya. Semisal ada orang Nasrani yang ingin membubarkan praktek kemungkaran seperti acara prostitusi di suatu tempat adalah diperbolehkan. Tapi yang diminta di dalam hadits ini adalah kaum muslimin.
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shohbihi wa sallam memerintahkan kepada kita umat Islam yang melihat kemungkaran hendaknya kemungkaran itu dirubah dengan tangannya. Hal ini tidak harus terkait kepada umara/ pemerintah saja, akan tetapi kepada setiap muslim yang mempunyai kecenderungan ingin merubah kemungkaran tersebut. Misalkan seorang ayah yang melihat anaknya melakukan kemungkaran maka tidak harus menunggu pemerintah, atau seorang guru melihat muridnya melakukan perzinaan maka tidak harus menunggu pemerintah. Sang guru atau orangtua wajib memperingatkan atau menegur dengan tegas pelaku kemungkaran dan dilakukan penanganan.
Jika memang dengan tangan ia tidak mampu, misalkan dikhawatirkan bila dilakukan dengan tangannya akan menimbulkan mudhorat atau bahaya yang mengancam dirinya, maka ia boleh mencegah kemungkaran itu dengan lisannya. Yakni, dengan ucapan-ucapan yang memang bisa diharapkan manfaatnya, atau dengan menjerit atau berteriak sehingga pelaku yang akan melakukan tindakan kemungkaran akan lari ketakutan setelah mendengar jeritan atau teriakan kita. Atau dengan kita memerintahkan suatu perkara yang baik seperti yang dilakukan oleh kebanyakan para da’i.
Kemudian apabila ternyata tidak mampu menggunakan dengan tangan dan lisannya maka lakukanlah dengan hatinya. Yakni, dengan cara mengingkari kemungkaran itu sendiri dan mesti mempunyai tekad yang kuat seandainya ia mampu dengan tangan/ perbuatan atau lisan/ ucapan pasti akan ia hilangkan kemungkaran yang ada di depan matanya. Karena yang namanya mengingkari adanya kemungkaran/ kemaksiatan di dalam hatinya adalah wajib hukumnya, tidak hanya sekedar mengingkari dengan tangan dan lisannya tanpa hatinya. Jika tangan dan lisan saja yang mengingkari tetapi hati tidak mengingkari adanya kemaksiatan tersebut berarti sama saja ia melakukan dosa yang sama dikarenakan orang yang ridho terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh pelaku sama juga mendapatkan dosa yang sama meski ia sendiri tidak melakukan perbuatan tersebut.
Oleh karena itulah, Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’roni di dalam kitab Al-Anwar Al-Qudsiyyah fi Qowa’idi Ash-Shufiyyah, berkata:
إِنْ كَانَ وَلَا بُدَّ لِلْمُرِيْدِ مِنْ إِزَالَةِ الْمُنْكَرِ فَلْيَتَوَجَّهُ إِلَى اللّٰهِ تَعَالٰى بِقِلْبِهِ وَيُزِيْلُ ذٰلِكَ الْمُنْكَرُ الَّذِيْ رَآهُ
Jika seorang murid ingin menghilangkan suatu kemungkaran maka hendaknya ia bertawajjuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan hatinya, agar Allah subhanahu wa ta’ala menghilangkan kemungkaran tersebut di daerahnya seperti yang ia lihat saat itu.
Jadi ketika orang itu tidak bisa merubah dengan tangannya, atau tidak bisa merubah dengan lisannya, maka rubahlah kemungkaran tersebut dengan hatinya yaitu dengan memohon berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Misalkan dengan perkataan,
اَللّٰهُمَّ أَصْلِحْ فُلاَنْ بِنْ فُلاَنْ بِهِدَايَتِكَ بِإِيْمَانِكَ بِإِحْسَانِكَ بِقُدْرَتِكَ بِقُرْآنِكَ بِعُلَمآئِكَ
Ya Allah berikanlah hidayah kepada Fulan ini dengan hidayahMu sehinga ia tahu akan Islam, Iman, Ihsan, dan datangkan kepadanya seorang ulama agar ada yang membimbing dan mengajarinya kebenaran.
Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’roni melanjutkan,
إِمَّا يَمْنَعُ الزَّانِيْ مِنَ الزِّنٰى أَوِ الشَّارِبِ مِنَ الْخَمْرِ وَنَحْوِ ذٰلِكَ، وَلَا يُنْسَبُ إِلٰى سَاكِتٍ قَوْلٍ، هَكَذَا كَانَ سُوْرَةٌ تَغْيِيْرِ الْمُرْسَلِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الْمُنْكَرِ فِيْ قَدِيْمِ الزَّمَانِ
Jadi tidak bisa mencegah seseorang dari perbuatan zina atau minum-minuman khamar, dan lain sebagainya, tidak serta kemudian dinisbahkan menghilangkan kemungkaran tersebut dengan cara hanya berdiam diri saja. Begitulah sikap yang dilakukan oleh para Rasul dan para ulama pada zaman dahulu tatkala mereka melihat sebuah kemungkaran yang ada di zamannya.
Hal yang sama pun dikatakan oleh guru-guru kita, bahwasanya orang-orang pada zaman dahulu jika melihat adanya suatu kemungkaran maka mereka akan mengawalinya dengan hatinya terlebih dahulu, yakni dengan tidak senang akan kemungkaran tersebut, kemudian berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta’ala, baru setelah itu kemudian melangkah atau melakukan tindakan. Tidak seperti kita di zaman ini yang biasanya dengan melangkah dahulu, kemudian jadinya seperti apa terserah nanti. Berbeda dengan orang terdahulu yang mana bila ingin merubah kemungkaran maka dengan hati terlebih dahulu baru kemudian menggunakan tangan atau perbuatan.
Syaikh Ibrahim Al-Matbuli menjelaskan bahwa,
تَغْيِيْرُ الْمُنْكَرُ بِالْيَدِ لِلْوُلَاةِ وَمَنْ قَارَبَهُمْ، وَباِلْقَوْلِ لِلْعُلَمآءِ الْعَامِلِيْنَ، وَتَغْيِيْرُهُ بِالْقَلْبِ لِأَرْبَابِ الْقُلُوْبِ
Merubah kemungkaran dengan tangan adalah tugas aparatur pemerintah atau yang sejenisnya (misalkan ketua RT/ RW, Pak Lurah, dll). Adapun merubah kemungkaran dengan ucapan (lisan) adalah tugas dari seorang ulama (baik dengan nasehat, ceramah, dll). Dan merubah kemungkaran dengan hati adalah bagi para pemilik hati.
Diceritakan bahwa Habib Idrus bin Salim Al Jufri mengemban dakwahnya dengan cara dari pintu ke pintu. Ia berdakwah mengajak orang untuk mengaji Al-Qur’an dan merubah kemungkaran secara door to door secara langsung dari satu tempat ke tempat lain. Dengan Shidqul Qolb beliau yang sangat luar biasa, ia mampu menghasilkan 655 Madrasah Al Khoirot yang tersebar di Palu, Ambon, Gorontalo, Makasar, Ujungpandang, hingga Papua. Jika ia menemukan di tempat-tempat tertentu yang terlalu minim, biasanya ia mengajak masyarakat untuk minum dan makan bersama dan bersenang-senang terlebih dahulu, baru kemudian mendirikan Madrasah Al Khoirot. Bahkan di dalam mendirikan madrasah tersebut, beliau sampai harus menjual kancing bajunya sendiri untuk membeli tanah. Inilah seorang ulama yang bertugas menasehati ummat dan turun gunung terjun langsung mengajarkan Islam yang benar, menasehati dari hati ke hati, bukan dengan membentak dan menyalahkan, apalagi menuduh bid’ah, syirik, dan sebagainya.
Mencegah kemungkaran dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman. Dibandingkan dengan tangan atau lisan, keingkaran dengan hati nilainya mungkin lebih kecil. Jangan sampai di dalam hati kita tidak ada keingingan yang terbesit untuk merubah suatu kemungkaran yang berarti tidak ada iman meski sebesar biji sawi, ini yang berbahaya. Sebagaimana sabda Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shohbihi wa sallam di atas,
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذٰلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
Apabila ia tidak mampu (dengan tangan dan lisan), maka hendaklah ia merubahnya dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.
Beberapa ulama dari guru-guru kita ada yang memaknai lafadz adh’aful iman (أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ) bukan berasal dari kata ضَعُف (dho’uf), atau bukan berasal dari fi’il ضَعُفَ – يَضْعُفُ (dho’ufa – yadh’ufu), yang berarti lemah, akan tetapi dimaknai dari kata ضِعْفٌ (dhi’fun) yang berarti berlipat ganda, sehingga makna dari,
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذٰلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
Adalah, “Apabila ia tidak mampu (dengan tangan dan lisan), maka hendaklah ia merubahnya dengan hatinya, dan itu adalah iman yang berlipat ganda”.
Mungkin muncul pertanyaan, kenapa dikatakan berlipat ganda? Para ulama menjelaskan bahwa di sini (merubah kemungkaran dengan hati) adalah kerjanya Allah subhanahu wa ta’ala bukan pekerjaan kita. Tatkala seseorang merubah suatu kemungkaran dengan tangan atau lisan maka itu adalah pekerjaannya sendiri. Akan tetapi, tatkala seseorang merubah suatu kemungkaran dengan hati maka itu Allah subhanahu wa ta’ala yang bekerja. Memohon kepada Allah ta’ala untuk merubah kemungkaran karena Allah ta’ala yang lebih kuat dan lebih bijaksana di daam merubah kemungkaran. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat dengan hati ini yang lebih hebat, sehingga diartikan iman yang berlipat-lipat, bukan diartikan selemah-lemahnya iman.
Sebagai seorang muslim, kita perlu tahu bahwa di dalam melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar diperlukan adanya Al-Hisbah (الحسبة). Hisbah adalah menasehati atau mengajak orang untuk berbuat kebajikan dan mencegah orang dari perbuatan kejahatan atau kemaksiatan. Al-Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin membagi hisbah menjadi 5 (lima) tingkatan:
- Tingkatan pertama adalah At-Ta’rif (التعريف), yakni memperkenalkan, memberitahukan mana yang halal dan haram, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mempekenalkan bahwa Al-Qur’an dan Hadits adalah pedoman hidup, dan memperkenalkan ulama yang mengajarkan Qur’an dan Hadits itu.
- Tingkatan kedua adalah Al-Wa’dzu bil Kalamil Latif (الوعظ بالكلام اللطيف), yakni menasehati dengan ucapan yang lemah lembut.
- Tingkatan ketiga adalah As-Sabbu wat Ta’nif (السب والتعنيف), yakni memaki atau mencela dengan keras. Tetapi perlu dicatat, tindakan ini tidak boleh menggunakan kata-kata yang keji, kotor, tidak senonoh dan tidak sopan. Juga tidak diperkenankan memanggil seseorang dengan perkataan seperti “Hai fasiq..” atau “Hai munafiq…” apalagi sampai menyebut “Hai kafir…”, dan lain sebagainya.
- Tingkatan keempat adalah Al-Man’u bil Qohr (المنع بالقهر), yakni mencegah dengan cara memaksa secara langsung, seperti memecahkan alat al-malahi semisal alat musik yang diharamkan, menuangkan khamar, merobek baju sutera yang dikenakannya, atau mengambil baju yang dicuri dan dikembalikan kepada pemiliknya.
- Tingkatan terakhir atau kelima adalah At-Takhwif wat Tahdid bid Dhorb (التخويف والتهديد بالضرب), yakni dengan cara menakut-nakuti atau diancam dengan pukulan.
Ini hisbah penting diketahui bagi setiap orang meskipun Amar Ma’ruf Nahi Munkar sendiri sifatnya fardhu kifayah. Dengan adanya pedoman-pedoman ini diharapkan agar jangan sampai di dalam mencegah kemungkaran justru malah menimbulkan kemungkaran baru yang lebih besar dikarenakan menggunakan metode yang tidak benar. Semoga ini menjadi pelajaran dan petunjuk bagi kita semuanya di dalam menjalankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang merupakan kewajiban setiap muslim mukallaf, dewasa, dan berakal.
(Disarikan dari kajian rutin yang disampaikan oeh Sayyidil Habib Alwi bin Ali Al Habsyi, Pengasuh Ma’had Riyadhul Jannah Majlis Ta’lim Al Hidayah Surakarta, dalam rutinan majelis taklim Ahad pagi, pada 13 Jumadil Akhir 1438 H/ 12 Maret 2017 M, yang bertempat di Ma’had Mertodranan Surakarta).
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id