Menjadi sebuah kebiasaan yang berlaku di kalangan umat Islam, ketika pembacaan Maulid seperti ad-Dibai, al-Barzanji, Simtud Duror, atau sesamanya, mereka akan berdiri di saat-saat tertentu. Biasanya disebut dengan Mahallul Qiyam (tempat berdiri). Melihat fenomena itu, Sayyid Abi Bakar Muhammad Syato ad-Dimyati menjelaskan dalam kitab ‘Ianah at-Thalibin:
فَائِدَةٌ: جَرَتِ الْعَادَةُ أَنَّ النَّاسَ إِذَا سَمِعُوْا ذِكْرَ وَضْعِهِ يَقُوْمُوْنَ تَعْظِيْمًا لَهُ وَهَذَا الْقِيَامُ مُسْتَحْسَنٌ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ النَّبِيْ وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ كَثِيْرٌ مِنْ عُلَمَاءِ الْأُمَّةِ الَّذِيْنَ يُقْتَدَى بِهِمْ
“Faidah: Telah menjadi kebiasaan ketika orang-orang mendengar kelahiran Nabi Muhammad, mereka berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Berdiri semacam ini dianggap baik karena di dalamnya mengandung pengagungan terhadap Nabi. Hal tersebut telah dikerjakan oleh mayoritas Ulama yang patut untuk diikuti.”[1]
Dalam menyikapi persoalan ini, Abuya Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani menegaskan:
فَاعْلَمْ أَنَّ الْقِيَامَ فِى الْمَوْلِدِ النَّبَوِيْ لَيْسَ هُوَ بِوَاجِبٍ وَلَا سُنَّةٍ وَلَا يَصِحُّ اِعْتِقَادُ ذَلِكَ اَبَدًا. وَاِنَّمَا هُوَ حَرَكَةٌ يُعَبِّرُ بِهَا النَّاسُ عَنْ فَرْحِهِمْ وَسُرُوْرِهِمْ فَإِذَا ذُكِرَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ وَخَرَجَ اِلَى الدُّنْيَا يَتَصَوَّرُ السَّامِعُ فِى تِلْكَ اللَّحْظَةِ اَنَّ الْكَوْنَ كُلَّهُ تَهْتَزُّ فَرْحًا وَسُرُوْرًا بِهَذِهِ النِّعْمَةِ فَيَقُوْمُ مُظْهِرًا لِذَلِكَ الْفَرْحِ وَالسُّرُوْرِ مُعَبِّرًا عَنْهُ فَهِيَ مَسْأَلَةٌ عَادِيَةٌ مَحْضَةٌ لَا دِيْنِيَّةٌ اَنَّهَا لَيْسَتْ عِبَادَةً وَلَا شَرِيْعَةً وَلَا سُنَّةً وَمَا هِيَ اِلَّا أَنْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِهَا
“Ketahuilah, sesungguhnya berdiri saat perayaan maulid nabi bukan perkara wajib, bukan pula perkara sunah. Dan keyakinan akan hukum itu tidak benar. Akan tetapi, berdiri itu merupakan ungkapan dari rasa kebahagian umat manusia. Sehingga ketika disebut Rasulullah Saw. telah lahir ke dunia, para pendengarnya menggambarkan bahwa seluruh dunia kala itu bergetar bahagia dengan nikmat tersebut sehingga ia mengungkapkan kebahagiaan itu dengan cara berdiri. Sehingga persoalan berdiri itu murni sebuah kebiasaan dan tidak masuk dalam ranah agama. Berdiri itu bukan termasuk ibadah, bukan syariat, dan bukan sunah. Akan tetapi hanya sebuah kebiasaan yang sudah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat.”[2] waAllahu a’lam
Referensi :
[1] Abi bakar Muhammad Syato ad-Dimyathi, I’anah at-Thalibin, III/363
[2] Muhammad Alwi al-Maliki, Al-I’lam Bi Fatawi Aimmah Al-Islam Haula Maulidihi Alaihi As-Sholah Wa As-Salam, hal. 25-26
Diambil dari : https://lirboyo.net
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id