USTADZ ALWI BIN ALI AL-HABSYI – PENGASUH PONPES RIYADHUL JANNAH SURAKARTA Masalah : Setiap Rabu terakhir bulan Sofar, sebagian besar kaum Muslimin Nusantara melakukan shalat sunnah memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari berbagai malapetaka. Hal ini didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir yang berbunyi begini: “Sebagian orang-orang yang ma’rifat kepada Allah menyebutkan, bahwa dalam setiap tahun akan turun tiga ratus dua puluh ribu malapetaka, semuanya terjadi pada Rabu terakhir bulan Sofar, sehingga hari tersebut menjadi hari tersulit dalam hari-hari tahun itu. Q & A Sejauh manakah legitimasi agama, atau pengakuan agama Islam terhadap Rebo Wekasan seperti dalam keterangan Kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas ? |
Jawab :
pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu kita bahas. Pertama pernyataan sebagian orang-orang yang ma’rifat tersebut, atau dalam kata lain sebagian waliyullah (kekasih Allah), dalam kacamata agama disebut dengan ilham. Para ulama ushul fiqih mendefinisikan ilham dengan, pikiran hati yang datang dari Allah. Berkaitan dengan hal ini, Sebagian ulama berkata : ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات “Di antara prinsip Ahlussunnah adalah mempercayai karamah para wali dan apa yang dijalankan oleh Allah melalui tangan-tangan mereka berupa perkara yang menyalahi adat dalam berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.” Pernyataan di atas, mengharuskan kita mengakui adanya berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah yang diberikan oleh Allah kepada para wali. Dengan demikian, dalam perspektif agama, ilham maupun mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang berbagai macam malapetaka yang diturunkan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, menemukan legitimasinya dalam akidah Islam. Kedua Mayoritas ulama berpendapat bahwa ilham tidak dapat menjadi dasar hukum Islam (wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram). Ilham yang dikemukakan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, tidak dalam rangka menghukumi sesuatu dalam perspektif Islam. Ilham di atas hanya informasi perkara غيب tentang turunnya malapetaka pada hari Rabu terakhir di bulan Sofar. Dengan demikian, ilham tersebut tidak berkaitan dengan hukum, tetapi berkaitan dengan informasi perkara yang belum kita ketahui sebelumnya , yang biasa terjadi kepada para wali Allah Ketiga Dalam ilmu tashawuf, ilham maupun mukasyafah seorang wali tidak boleh dipercaya dan diamalkan, sebelum dikomparasikan dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ilham dan mukasyafah tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka dipastikan benar. Akan tetapi apabila ilham dan mukasyafah tersebut bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka itu jelas salah dan harus ditinggalkan jauh-jauh. Kaitannya dengan ilham atau mukasyafah Rebo Wekasan yang diterangkan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, ada dasar yang menguatkannya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣). Artinya : “Dari Ibn Abbas RA, Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial ” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23). Hadits di atas kedudukannya dha’if (lemah). Tetapi meskipun hadits tersebut lemah, posisinya tidak dalam menjelaskan suatu hukum, tetapi berkaitan dengan bab targhib dan tarhib (anjuran dan peringatan), yang disepakati otoritasnya di kalangan ahli hadits sejak generasi salaf. Ingat, bahwa yang menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, bukan ulama ahli hadits, akan tetapi kaum Wahabi abad modern.. Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa hari Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah hari datangnya sial terus MENGAPA HABAIB & MASYAIKH ULAMA DI HARI RABO WEKASAN JUSTRU MALAH KELUAR RUMAH DAN BIKIN ACARA DI LUAR RUMAH ?, TIDAKKAH MEREKA TAKUT BALA’ YANG TURUN ? Istilah Arba Mustamir, yang kebetulan hari ini adalah Rabu terakhir Bulan Sofar yang di Jawa dikenal dengan istilah Rabu Pungkasan, yang oleh sebagian ummat diyakini sebagian orang sebagai hari sial,” kata dia. Syarbani melanjutkan, dikisahkan dahulu orang-orang Jahiliyah Arab meyakini bahwa Akhir Rabu ini (Bulan Sofar) sebagai Hari Naas dan Hari Bala. Sehingga mereka menghentikan semua aktifitasnya. Toko ditutup, pekerjaan mereka tinggalkan, bahkan mereka menutup rumahnya rapat-rapat. Mereka tidak mau keluar rumah karena takut mendapatkan bala. Mereka serba ketakutan. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam لَا عَدْوَى وَلَا طِيرَةَ وَلَا صَفَر Tidak ada itu gara-gara si A akhirnya datang penyakit menular kepada yang lainnya. Tidak ada itu gara-gara burung ini atau itu akhirnya datang bala`, tidak ada pula gara-gara bulan Sofar.” Karena itu, tidak boleh kita menyakini di hari itu akhirnya kita apes semuanya, tidak! Disinilah para ulama’ salaf mengubah image Hari Rabu itu. Diubah image-nya yang asalnya ketakutan, diubah menjadi penuh harapan. Jadi, hari ini berubah menjadi hari penuh harapan. Mereka dulu ketakutan tapi diganti ayo baca-baca Al-Quran, baca-baca dzikir. Dianjurkan beberapa dzikir di antaranya membaca Surat Yasin (ketika sampai ayat) “Salamun qoulam mir rob birrohim” dibaca 313x, dengan tafaul/ berharap dengan jumlah sahabat perang badar yang sebanyak 313 insya Alloh kita ”Salam..” dijadikan orang yang selamat. Yang asalnya ketakutan menjadi harapan. Kemudian yang asalnya di dalam rumah karena takut (jika keluar) kena bala’ malah diadakan satu demostratif begitu, oleh salafus soleh, keluar/pergi keluar kota. Itu sebenarnya bukan dianjurkan/ disunahkan pergi keluar kota, tidak. Itu sebagai penentangan terhadap pengaruh jahiliyyah, yang asalnya mereka susah, ketakutan malah dianjurkan untuk berbahagia. Sampai-sampai diantara mereka (salafussoleh) membuat mayoran (berkumpul makan bersama) potong kambing. Masih inget kita dulu ada di (salah satu tempat rekreasi) spt di tawangmangu dll. Itu sebagai ”protes” jangan kita seperti orang jahiliyyah yang ketakutan di hari ini…maka kita berbahagia bersama-sama tapi sambil berdo’a, bukan melupakan diri kepada Alloh SWT. “Jadi ajaran itu sebenarnya bukan ajaran bi’dah justru itu adalah menentang dari pada keyakinan jahiliyyah”
Baca Juga ADA APA PADA RABO WEKASAN ? (BAGIAN I) |
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id
One Comment
Pingback: ADA APA PADA RABO WEKASAN ? (BAGIAN I) | Nyantri Yuk