A. Sejarah Fadak
Fadak adalah sebuah perkampungan yang subur berada di dekat Khaibar[1], di wilayah kawasan Hijaz. Berjarak 160 kilometer dari Madinah[2] di mana kaum Yahudi tinggal dan hidup di wilayah itu. Karena posisi wilayahnya yang strategis, mereka membangun benteng-benteng militer di sekitarnya[3]. Setelah Nabi Muhammad ﷺ berhasil menaklukkan kawasan Khaibar dan benteng-bentengnya dalam perang Khaibar, orang-orang Yahudi yang tinggal di benteng-benteng dan ladang perkebunan Fadak mengirim perwakilan ke hadapan Nabi ﷺ. Mereka merasa puas dengan berserah diri dan berkompromi dengan Nabi serta berjanji bahwa setengah tanah itu untuk mereka dan setengah tanah lainnya akan diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ [4]. Kapan saja Nabi ﷺ berkehendak, mereka akan meninggalkan Fadak. Oleh karena itu, Fadak jatuh ke tangan umat Islam tanpa melakukan perang[5].
Dikatakan bahwa Fadak memiliki ladang dan perkebunan kurma yang sangat banyak[6]. Ibnu Abi Al-Hadid mengatakan mengenai nilai pohon-pohon kurma Fadak, menulis : “Pohon-pohon kurma Fadak seukuran pohon-pohon kurma kota Kufah yang ada saat ini (sebuah perkebunan kurma yang luas)”[7].
B. Syubhat dalam Kepemilikan Tanah Fadak
Kelompok Syiah berpandangan bahwa shahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menghalangi sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha dari warisan Nabi Muhammad ﷺ dengan berdalil hadits yang dia riwayatkan sendiri. Padahal Allah ﷻ berfirman :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allâh telah berwasiat kepada kalian tentang anak-anak kalian, laki-laki mendapatkan dua bagian wanita” (Q.S. An-Nisâ’/4:11)
Mereka juga mengatakan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menghalangi sayyidah Fathimah dari mendapatkan Fadak. Mereka meyakini bahwa alasan shahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu melakukannya adalah karena takut apabila sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha mendapatkannya, maka beliau akan menggunakan harta tersebut untuk mencari dukungan manusia membatalkan kekhilafahan Abu Bakar. Mereka berkata bahwa barangsiapa yang menyakiti Fâthimah radhiyallahu ‘anha berarti dia menyakiti Rasûlullâh ﷺ, padahal Allâh ﷻ berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allâh dan Rasul-Nya, Allâh melaknat mereka di dunia dan di akhirat, dan menyediakan bagi mereka adzab yang menghinakan” (Q.S.Al-Ahzâb/33:57).
C. Bantahan Terhadap Syubhat
- Shahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu tidak memberikan kepada sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha dan ahli waris Rasûlullâh ﷺ yang lain berdasarkan hadits yang shahih bukan berdasarkan keinginan hawa nafsu. Rasûlullâh ﷺ bersabda :
لاَ نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ
“Kami tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah”[8]
- Hadits ini telah diriwayatkan oleh sahabat selain Abu Bakar, seperti Umar radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thâlib radhiyallahu ‘anhu, Abbâs bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu, dan lain-lain. Dalam Shahîh Al-Bukhâri diceritakan bahwa shahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu datang kepada Abbâs dan Ali radhiyallahu ‘anhuma dan berkata : “Aku bertanya kepada kalian berdua dengan nama Allâh, Apakah kalian berdua mengetahui bahwa Rasûlullâh ﷺ telah mengucapkan hadits ini? Maka mereka berdua berkata, “Ya”[9]. Ini menunjukkan bahwa hadits ini bukan dibuat-buat oleh shahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dan tidak mungkin Ali bin Abi Thâlib dan para sahabat lain bersepakat untuk memalsu hadits.
- Shahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuma telah memberi Ali bin Abi Thalib dan keturunannya lebih dari yang ditinggalkan Rasûlullâh ﷺ. Seandainya maksud Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu adalah supaya mereka tidak mendapat harta, niscaya beliau tidak akan memberikan mereka sedikitpun.
- Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuma tidak mengambil sedikitpun dari harta yang ditinggalkan Rasûlullâh ﷺ.
- Ada riwayat dalam kitab-kitab Syiah yang menguatkan hadits : لاَ نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ. Seperti hadits berikut :
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَلَكِنْ وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ مِنْهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham tapi mewariskan ilmu, barangsiapa yang mengambil ilmu darinya maka sungguh telah mengambil dengan bagian yang banyak”[10].
Hadits tersebut juga ada dalam kitab Ahlussunnah wal Jama’ah. Ini menunjukkan bahwa para nabi hanya mewariskan ilmu bukan harta dunia.
- Ayat di atas bersifat umum dan dikhususkan maknanya dengan hadits. Rasûlullâh ﷺdan nabi-Nabi-Nabi yang lain telah Allâh ﷻ khususkan dengan beberapa perkara, diantaranya adalah masalah warisan ini.
- Mereka sendiri menyelisihi keumuman ayat yang lain, mereka mengatakan bahwa yang menerima warisan hanya sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha. Padahal di sana ada istri-istri beliau ﷺ, yang mereka juga berhak berdasarkan keumuman firman Allâh ﷻ :
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Para istri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutang kalian” (Q.S. An-Nisâ’/4:12)
- Mereka meriwayatkan bahwa Ja’far ash-Shâdiq pernah ditanya tentang apa yang menjadi hak wanita dalam warisan. Beliau menjawab, “Mereka berhak mendapatkan harga dari batu bata, bangunan, kayu, dan tumbuh-tumbuhan yang beruas, adapun tanah dan harta yang tidak bergerak maka mereka tidak berhak”[11]. Seluruh peninggalan ﷺ adalah harta benda yang tidak bergerak, seperti tanah. Beliau ﷺ tidak meninggalkan dinar dan dirham. Berkata ‘Amr bin al-Hârits :
مَاتَرَكَ رَسُوْلُ اللهِ عِنْدَ مَوْتِهِ دِرْهَمًا وَلاَ دِيْنَارًا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ أَمَةً وَلاَ شَيْئًا إِلاَّ بَغْلَتَهُ الْبَيْضَاءَ وَسِلاَحَهُ وَأَرْضًا جَعَلَهَا صَدَقَةً
“Rasûlullâh tidak meninggalkan dirham, dinar, budak laki-laki, budak wanita, dan tidak yang lain, kecuali bagal putih beliau, senjata, dan tanah, yang semuanya dijadikan sedekah”[12].
Lalu mengapa mereka meyakini bahwa sayyidah Fathimah berhak mengambil tanah Fadak? Rasûlullâh ﷺ ketika mendapatkan Fadak, beliau ﷺ hanya mengambil hasilnya untuk nafkah keluarga beliau ﷺ selama setahun, sisanya beliau shadaqahkan untuk orang faqir miskin.
- Ketika Ali bin Abi Thâlib radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, beliau tidak membagi-bagi Fadak kepada ahli warisnya atau kepada Ummahâtul Mukminin. Padahal kekuasaan ada di tangan beliau dan beliau adalah orang yang adil dan pemberani. Ini menunjukkan bahwa Fadak memang bukan harta warisan.
KESIMPULAN
Masing-masing pendapat di antara sayyidana Abu Bakar Ash-Shiddiq dan sayyidatuna Fatimah radhiyallahu ‘anhuma adalah berdasarkan dalil dan bukan berpedoaman pada hawa nafsu. Jadi, sayyidatuna Fatimah tidak salah menuntut tanah Fadak peninggalan Nabi dengan dalil, sehingga tidak boleh disalahkan. Begitu pula sayyidina Abu Bakar tidak boleh disalahkan, karena beliau mendengar langsung hadits Nabi, sehingga beliau tidak mungkin mengambil sikap yang bertentangan dari apa yang beliau tahu.
Maka, kedua belah pihak tidak bisa disalahkan. Apakah bisa dua belah pihak benar ? Bukankah bila salah satu pihak benar maka yang lain salah ? Dalam konteks Ijtihad, bukan demikian. Ada perkara-perkara dalam ijtihad tidak selalu bila satu perkara benar pasti yang lain salah. Terkadang ada sejumlah kasus, dua pendapat bertentangan namun keduanya sama-sama benar. Sebagaimana kisah serombongan sahabat yang dikirim Rasulullah ke bani Quraidhah serta pesan Rasul kepada mereka mengenai waktu pelaksanaan shalat Ashar. Pada akhirnya, Rasulullah membenarkan 2 kelompok shahabat yang berseteru dalam penafsiran pesan Rasul. Maka, begitulah sikap ahlus-sunah wal-jamaah. Tidak sepantasnya bagi kita untuk menyalahkan pihak satu atau pihak lain seakan-akan kita lebih pandai atau lebih mengerti agama Islam daripada mereka radhiyallahu ‘anhuma.
Al-Imam Syihab ibnu Kharrash mengatakan : Aku ini menjumpai kalangan pemula dari umat islam ini. Aku bertemu dengan ulama salaf dan mereka berpesan “sebutkanlah dan ceritakanlah di majlis tentang para sahabat Nabi yang bisa membuat hati bersatu. Jangan sekali-kali kamu menyebutkan atau menceritakan tentang perselisihan yang terjadi di antara mereka. Sehingga membuat orang menjadi ribut antara satu sama lain”. Maka dari itu, sikap ahlus-sunah wal-jamaah adalah tidak menceritakan kisah-kisah yang masih banyak syubhatnya tentang perselisihan di antara para sahabat dan keluarga Nabi, terkecuali karena sebab darurat atau mendesak.
Referensi:
[1] Yaqut Hamawi, Mu’jam al-Buldān, di bawah kata Fadak, jld.4, hlm. 238.
[2] Yaqut Hamawi, Mu’jam al-Buldān, di bawah kata Fadak, jld.4, hlm. 238; Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, jld.10, hlm.473.
[3] Baladzuri, Mu’jam Ma’ālim al-Hijāz, jld.2, hlm. 205 dan 206 dan jld.7, hlm.23; Subhani, Hawadits Sale Haftum Hijrat; Fadak, hlm.14.
[4] Muqrizi, Imta’ al-Asma’, jld.1, hlm.325.
[5] Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.15.
[6] Yaqut Hamawi, Mu’jam al-Buldān, di bawah kata Fadak, jld.4, hlm. 238; Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, jld.10, hlm.437
[7] Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.16, hlm. 236.
[8] Hadits Riwayat Al-Bukhâri dan Muslim
[9] Shahîh al-Bukhâri, no. 3809
[10] Ushûlul Kâfii 1/42
[11] Man Lâ Yahdhuruhuu Al Faqîh, ash Shodûq 11/178
[12] Hadits Riwayat Al-Bukhâri
oleh : Habib Ahmad bin Muhammad Assegaf ( staf pengajar Pondaok Pesantren Riyadhul Jannah Surakarta)
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id