Proses Pembangunan Ulang Ka’bah (Bagian 2)
Dikisahkan pula bahwa dahulu, terdapat sumur yang digali di tengah bangunan Ka’bah, dan di dalam sumur itu terdapat ular yang sangat besar. Ular itu selalu keluar setiap hari ketika terbit matahari dan merayap di dinding-dinding Ka’bah. Sehingga tidak ada seorang pun yang berani mendekatinya, alih-alih merobohkannya dan merenovasinya. Maka, ketika mereka bersiap-siap untuk membangun kembali Ka’bah, tiba-tiba datang seekor elang memangsa ular tersebut, mencengkramnya dengan cakarnya dan membawa ular tersebut pergi. Sehingga orang-orang Mekkah merasa lega, dan mereka menjadi lebih bersemangat untuk merenovasi Ka’bah.
Yang pertama memulai proses renovasi Ka’bah adalah Al-Walîd bin Mughîrah. Tahap awalnya adalah dengan merobohkan bangunan Ka’bah. Maka ketika Al-Walid membawa cangkul, ia memulainya dengan berdoa : “Ya Allah, tidaklah kami menginginkan sesuatu terkecuali kebaikan”. Lalu dirobohkannya itu bangunan Ka’bah dari sisi kedua rukunnya. Kemudian mereka menunggu pada malam itu (apabila terjadi sesuatu maka itu menandakan murka Allah). Pada keesokan harinya, ternyata tidak ada suatu keburukan pun yang terjadi (artinya Allah ridha atas pembangunan kembali Ka’bah). Sehingga mereka melanjutkan proses pertamanya, yaitu merobohkan bangunan Ka’bah, sampai pada bebatuan hijau yang berbentuk seperti punuk unta, yang mana sebagian dengan sebagian yang lain merupakan asas Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Ketika sebagian orang-orang Quraisy hendak memecah batu itu menjadi 2, berguncanglah kota Mekkah dengan batu itu sebagai episenternya. Maka akhirnya mereka membiarkan batu tersebut, dan menjadikan batu itu sebagai asas (pondasi) bangunan. Hanya saja, bangunan Ka’bah menjadi berkurang lebarya dari bangunan aslinya, seukuran 6 – 7 dhira’ (hasta), karena kurangnya biaya mereka dalam pembangunan. Kemudian Ka’bah dibuatkan satu pintu, diangkat posisinya dari tanah supaya siapapun bisa masuk dan bisa mencegah siapapun untuk masuk. Sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam Shahih Bukhari.
Pada masa kekhalifahan Ibnu Zubair, saat ia dikepung oleh Hushain bin Numair As-Sakuni di kota Mekkah, sempat terjadi kerusakan pada Ka’bah akibat kobaran api pada kemah yang ada di dalam Masjidil Haram. Kerusakan juga diakibatkan oleh lemparan batu-batu besar yang dilemparkan oleh Hushain dan para pengikutnya dengan alat-alat perang mereka.
Ketika pasukan Hushain mundur dan kembali ke negeri Syam karena kematian pemimpinnya Yazid bin Mu’awiyah, Ibnu Zubair memutuskan untuk membangun kembali bangunan Ka’bah dan dibangunnya di atas pondasi dasar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan bibinya Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pembangunan ulang Ka’bah ini menjadikan tinggi Ka’bah naik sekitar 28 dzira’ dan tidak pernah berubah sampai pada hari ini. Ketika Ibnu Zubair wafat, al-Hajjaj juga melakukan pembangunan ulang Ka’bah berdasakan musyawarah dengan Abdul Malik bin Marwan. Hasilnya ialah membiarkan bangunan sesuai dengan apa yang sudah ada, hanya saja mengeluarkan apa yang telah dimasukkan Ibnu Zubair, yaitu panjang bangunan meliputi Hijir Ismail, maka dikembalikan seperti semula. Lalu menutup pintu bagian barat, dan mengangkat tanah bagian timur.
Referensi:
(Yahya bin Abu Bakar al-‘Amiri, Bahjatul Mahafil wa Bughyatul Amatsil : hlm. 67 – 68)
Oleh Habib Ahmad bin Muhammad Assegaf ( Staf Pengajar Pondok Pesantren Riyadhul Jannah Surakarta )
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id