- Nama dan Kelahiran Beliau
Hadratussyaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari, (14 Februari 1871 – 25 Juli 1947) adalah seorang ulama besar bergelar pahlawan nasional dan merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) Nahdlatul Ulama. Beliau memiliki julukan Hadratussyaikh yang berarti Maha Guru dan telah hafal Kutubus Sittah (Hadits 6 Riwayat), serta memiliki gelar Syaikhul Masyayikh yang berarti Gurunya Para Guru. Beliau adalah putra dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di desa Tambakrejo, kecamatan Jombang.
- Keluarga Beliau
Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan pendiri Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang.
Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.
Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim kemudian melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.
Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.
Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.
Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai Hsyim hingga akhir hayatnya.
- Riwayat Pendidikan
KH. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai tokoh yang haus akan pengetahuan agama Islam. Sejak masa kecilnya, Kiai Hasyim pergi menimba ilmu ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami Islam di tanah suci (Makkah dan Madinah).
Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius dididik dan dibimbing mendalami pengetahuan Islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama yakni sejak anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalui ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadits, Bahasa Arab, dan bidang kajian islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar santri yang lebih senior.
Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian berpindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Pesantren Tenggilis, Surabaya, dan kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan, Bangkalan yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di Pesantren Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo yang diasuh oleh Kiai Ya’qub. Selama 3 tahun Kiai Hasyim berhasil mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh, dan tasawuf kepada Kiai Kholil. Sementara di bawah bimbingan Kiai Ya’qub, beliau berhasil mendalami ilmu tauhid, fiqih, adab, tafsir, dan hadits.
Atas nasehat dan saran Kiai Ya’qub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-ulama masyhur di Makkah sambil menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada Syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqaf, Sayyid ‘Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Nawawi al-Bantani, dan Syaikh Mahfuz al-Tarmas.
Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga memperoleh kepercayaan untuk mengajar di Masjidil Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’dullah al-Maimani, Syaikh Umar Hamdan, Syekh Shihan Ahmad bin Abdullah, KH. Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), KH. R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).
Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan thariqah. Bahkan beliau juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah melalui salah melalui salah satu gurunya yakni Syaikh Mahfuz al-Tarmas.
- Mendirikan Podok Pesantren
Pada tahun 1893, KH. Hasyim Asy’ari kembali ke Mekkah bersama saudaranya, Anis yang kemudian juga meninggal di sana. KH. Hasyim Asy’ari pun kembali ke rumahnya pada tahun 1900 dan memutuskan menjadi pengajar di pesantren milik ayah dan kakeknya. Di tahun 1903-1906 KH. Hasyim Asy’ari juga mengajar di kediaman mertuanya, Kemudring, Kediri. Setelah melalui berbagai peristiwa dan belajar agama dari berbagai pesantren, KH. Hasyim Asy’ari akhirnya mendirikan pesantrennya sendiri, yaitu Pesantren Tebuireng.
- Mendirikan NU
Terbentuknya Nahdlatul Ulama sebagai wadah Ahlussunnah wal Jama’ah bukan semata-mata karena KH. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya ingin melakukan inovasi, namun memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi genting dan wajib mendirikan sebuah wadah. Di mana saat itu, di Timur Tengah telah terjadi momentum besar yang dapat mengancam kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah terkait penghapusan sistem khalifah oleh Republik Turki Modern dan ditambah berkuasanya rezim Madzhab Wahabi di Arab Saudi yang sama sekali menutup pintu untuk berkembangnya mazhab lain di tanah Arab saat itu. Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama masyhur berkumpul di Masjidil Haram dan sangat mendesak berdirinya orgasnisasi untuk menjaga kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah.
Setelah melakukan istikharah, para ulama di Arab Saudi mengirimkan sebuah pesan kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk sowan kepada dua ulama besar di Indonesia saat itu, apabila dua ulama besar ini merestui, maka akan sesegera mungkin dilakukan tindak lanjut, dua orang itu adalah Habib Hasyim, Pekalongan dan Syaikhona Kholil, Bangkalan. Maka KH Hasyim Asy’ari dengan didampingi Kiai Yasin, Kiai Sanusi, Kiai Irfan, dan KH. R. Asnawi datang sowan ke kediamannya Habib Hasyim di Pekalongan. Selanjutnya dilanjutkan dengan sowan ke Syaikhona Kholil Bangkalan, maka KH. Hasyim dan ulama lainnya mendapatkan wasiat dari Syaikhona Kholil untuk segera melaksanakan niatnya itu sekaligus beliau merestuinya.
Kemudian pada tahun 1924, Syaikhona Kholil mengutus Kiai As’ad yang saat itu berumur 27 tahun untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Kiai Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang dan menghafalkan Surat Thaha ayat 17-23 untuk dibacakan di hadapan Kiai Hasyim. Berangkatlah Kiai As’ad dengan mengayuh sepeda, Kiai As’ad telah dibekali uang oleh Syaikhona Kholil untuk di perjalanan, namun ia justru berpuasa selama di perjalanan. Kemudian setibanya di Tebuireng, Kiai As’ad menghadap Kiai Hasyim Asy’ari dan menyerahkan tongkat itu. Kiai Hasyim bertanya “Apakah ada pesan dari Syaikhona?” Lalu Kiai As’ad membaca Surat Thaha ayat 17-23 yang arti terjemahannya:
“Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa ? Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu ia melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami (Allah) akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar”.
Berselang beberapa hari, Syaikhona Kholil kembali mengutus Kiai As’ad untuk mengantarkan sebuah tasbih kepada Kiai Hasyim. Ketika Syaikhona Kholil menyerahkan tasbihnya, Kiai As’ad enggan untuk menerima dengan tangannya, ia memohon kepada Syaikhona untuk mengalungkan tasbih itu ke lehernya. Syaikhona Kholil berpesan agar Kiai As’ad membaca “Yaa Jabbar Yaa Qahhar” hingga sampai Tebuireng dan membacanya di hadapan Kiai Hasyim. Selama di perjalanan, Kiai As’ad sama sekali tidak berani menyentuh tasbih itu, hingga sesampainya di Tebuireng, Kiai As’ad segera menghadap Kiai Hasyim dan memohon Kiai Hasyim untuk mengambil tasbih itu dari lehernya searaya ia membaca “Yaa Jabbar Ya Qahhar”.
KH. Hasyim Asy’ari telah menangkap dua isyarat kuat tersebut yang mengartikan bahwasannya Syakhona Kholil telah memantapkan hati beliau dan merestui didirikannya Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Setahun kemudian, pada tanggal 31 Desember 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama.
- Karya-Karya Beliau
Adapun di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesanttren Nusantara sampai sekarang antara lain:
1. At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan
Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1260 H dan kemudian diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta memberikan penjelasan akan bahayanya memutus tali persaudaraan atau silatuhrami.
2. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama
Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Terutama berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menguntip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak NU, kitab tersebut barangkali dapat dikatakan sebagai bacaan wajib mereka.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah
Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab, yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Ahmad bin Hanbal. Namun, ia juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.
4. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama
Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.
5. Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi
Pada dasarnya, kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakalli fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim karya Syekh Ibnu Jamaah. Meskipun merupakan bentuk resume dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.
6. Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah
Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barangkali dapat dikatakan sebagai kitab yang relevan untuk dikaji saat ini. Hal tersebut karena di dalamnya banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnag dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari. Terutama saat ini.
Wafat
Kiai Hasyim wafat pada tanggal 25 Juli 1947 M atau 7 Ramadan 1366 H, saat itu Kiai Hasyim menerima kedatangan utusan Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Bung Tomo yang hendak mengabarkan keadaan negara setelah terjadinya Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Kiai Hasyim kaget sebab mendengar cerita dari utusan tersebut bahwa Singosari telah direbut oleh Jenderal Spoor.
Mendengar kabar itu, Kiai Hasyim sangat kaget hingga ia jatuh pingsan, sempat didatangkan dokter namun nyawanya tak bisa diselamatkan lagi, ia dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Diwek, Jombang.
- Referensi:
- https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Hasyim_Asy%27ari
- https://tebuireng.online/biografi-lengkap-kh-m-hasyim-asyari/
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id