حكي ؛ فى سبب وضع أبى الأسود لهذا الفن أنه كان ليلة على سطح بيته و عنده بنته ، فرأت السماء و نجومها و حسن تلألئ أنوارها مع وجود الظلمة ، فقالت ؛ يَا أَبَتِ ، مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ ؟؟ – بضم النون و كسر الهمزة ـ . فقال ؛ أَيْ بُنَيَّةُ ، نُجُوْمُهَا . و ظن أنها أرادت أي شيء أحسن منها ؟؟ . فقالت ؛ يَا أَبَتِ ، مَا أَرَدْتُ هَذَا ، إِنَّمَا أَرَدْتُ التَّعَجُّبَ مِنْ حُسْنِهَا . فقال ؛ قولى مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ ، و افتحى فاك .
فلما أصبح غدا على سيدنا علي كرم الله وجهه و قال ؛ يا أمير المؤمنين ، حدث فى أولادنا ما لم نعرفه . و أخبره بالقصة . فقال ؛ هذا بمخالطة العجم العرب .
ثم أمره فاشترى صحيفة و أملى عليه بعد أيام ؛ الكلام ثلاثة ؛ اسم و فعل و حرف جاء لمعنى ، و جملة من باب التعجب . و قال ؛ انح نحو هذا . فلذالك سمي بعلم النحو . ثم قال ؛ تتبعه يا أبا الأسود ، و زد عليه ما وقع لك . و اعلم يا أبا الأسود أن الأشياء ثلاثة ؛ ظاهر ، و مضمر ، و شيء ليس بظاهر و لا مضمر . و إنما تتفاضل الناس فى معرفة ما ليس بظاهر و لا مضمر . قال أبو الأسود ؛ فجمعت منها أشياء و عرضتها عليه ، فكان من ذالك حروف النصب ، فكان منها ؛ إِنَّ و أَنَّ و لَيْتَ و لَعَلَّ ، و لم أذكر لكِنَّ . فقال لى ؛ لم تركتها ؟؟ فقلت ؛ لم أحسبها منها . فقال ؛ بل هي منها فزدها . ثم سمع أبو الأسود رجلا يقرأ ؛ أَنَّ اللّهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَ رَسُوْلِهِ – بالجر – ، فوضع باب العطف و النعت .
Diceritakan tentang sebab awal mula Abul Aswad menciptakan tipologi ini (nahwu), bahwa suatu malam ia bersama anak perempuannya berada di loteng rumah, sang anak memperhatikan langit yang dikelilingi bintang-bintang yang kelap-kelip ditengah gelap gulita.
Sang anak berkata :
يَا أَبَتِ ، مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ ؟؟
“Wahai ayahku, maa ahsanu as-sama’i (apakah yang paling indah di langit) ??”. Dia membacanya dengan dhommah nun dan kasroh hamzah.
Abul Aswad mengira bahwa anaknya bertanya tentang sesuatu yang paling indah di langit, hingga beliau menjawab :
أَيْ بُنَيَّةُ ، نُجُوْمُهَا
“Wahai anakku, tentunya bintang-bintang”.
Sang anak berkata :
يَا أَبَتِ ، مَا أَرَدْتُ هَذَا ، إِنَّمَا أَرَدْتُ التَّعَجُّبَ مِنْ حُسْنِهَا
“Wahai ayahku, bukan itu maksudku. Yang aku maksud adalah rasa kagum atas keindahan langit”.
Kemudian Abul Aswad berkata :
قُوْلِىْ ؛ مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ ، وَ افْتَحِىْ فَاكِ
“Ucapkanlah : maa ahsana as-sama’a (betapa indahnya langit ini) -dengan fathah nun dan hamzah-, dan bukalah mulutmu (maksudnya : fathahkan barisnya)”.
Keesokan harinya, Abul Aswad mendatangi Sayyidina Ali dan menceritakan kejadian tadi malam. Sayyidina Ali berkata : “Ini adalah mukholatoh (percampuran) antara bahasa ‘ajam dan arab”.
Kemudian Sayyidina Ali menyuruh membeli kertas dan mendiktekan pada Abul Aswad setelah beberapa hari : “Bagian kalam ada tiga : isim, fi’il, dan huruf yang memiliki makna, dan sejumlah bab ta’ajjub (ungkapan rasa kagum)”.
Sayyidina Ali berkata lagi : “Arahkan seumpama ini (Unhu nahwa hadza)”, maksudnya : perbaiki ucapan anakmu. Sebab itulah tipologi ini dinamai dengan NAHWU, yang diambil dari kata “Unhu (اُنْحُ)”, yakni fi’il amr dari Naha Yanhu Nahwan (نَحَا – يَنْحُوْ – نَحْوًا).
Sayyidina Ali menerangkan : “Ketahuilah wahai Abul Aswad, bahwa segala sesuatu itu ada tiga : 1. Zhohir (nampak), 2. Dhomir (tersembunyi), 3. Sesuatu yang tidak nampak dan tidak pula tersembunyi. Diantara yang tiga ini, para ulama lebih memfokuskan diri untuk mengenal bagian yang nomor tiga.
Abul Aswad lantas berkata : “Kemudian aku himpun beberapa hal daripadanya dan aku perlihatkan semuanya kepada Sayyidina Ali, termasuk diantaranya huruf-huruf nashob yaitu : Inna (إِنَّ), anna (أَنَّ), layta (لَيْتَ), la’alla (لَعَلَّ), dan ka’anna (كَأَنَّ), dan aku tidak memasukkan lakinna (لَكِنَّ) kedalam kelompok ini”. Tapi Sayyidina Ali malah berucap : “Kenapa kamu tidak memasukkannya ??”. Aku menjawab : “Menurutku, lakinna (لَكِنَّ) bukan bagian huruf nashob”. Sayyidina Ali berkata : “Justru lakinna termasuk huruf nashob, masukkanlah ia”.
Kemudian Abul Aswad mendengar seorang laki-laki membaca ayat dengan salah baris :
أَنَّ اللّهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَ رَسُوْلِهِ . (سورة التوبة ؛ ٣)
“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan rasul-NYA”, [QS.At-Taubah : 3].
Dengan kasroh lam pada kalimat rasulih (رَسُوْلِهِ), padahal yang benar dibaca dengan dhommah lam (رَسُوْلُهُ). Sehingga Abul Aswad menaruh bab ‘athof (kata penghubung) dan na’at (sifat). Wallaahu a’lam.
Referensi :
📖 : [MUKHTASOR JIDDAN SYARAH AL-AJURRUMIYAH, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Cet.Maktabah Ahmad Nabhan Hal.4]
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id