- Kelahiran Beliau
KH. Abdul Mu’thi atau yang biasa dipanggil dengan sapaan KH. Abdul Hamid Pasuruan lahir pada tahun 1333 H atau 1915 M di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang, di tengah kota kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Ayahnya bernama Abdullah bin Umar seorang tokoh Islam yang rajin dan taat beragama. Sedangkan ibunya bernama Raihannah, putri dari Kiai Shiddiq.
Ia adalah anak keempat dari 12 bersaudara yang dilahirkan dari rahim Nyai Raihannah. Mu’thi kecil bukanlah anak manis yang sehari-harinya diam di rumah, melainkan tembuh sebagai anak yang lincah, extrovert dan nakal. Meskipun begitu, Mu’thi rajin membantu orang tuanya.
Dalam usianya yang masih kecil, ia dididik oleh ibunya dan membiasakan shalat lima waktu berjamaah. Bahkan, saat Mu’thi ketinggalan shalat berjamaah, ia menangis sehingga sang ibu mengulangi shalatnya dan berjamaah bersamanya. Mu’thi juga sering disuruh ibunya membawakan oleh-oleh untuk disampaikan kepada gurunya dan ia merasa senang sekalipun oleh-olehnya sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa masa kecil Mu’thi bersih dari sifat sombong. Pada saat itu di Lasem memiliki ulama besar yang disegani masyarakat, yakni Kiai Ma’shum (Mbah Ma’shum), Kiai Baidhowi, dan Kiai Muhammad Siddiq.
- Masa Pendidikan
Pada usia tujuh tahun, Mu’thi dididik dan dibimbing sendiri oleh ayahnya dalam belajar Al-Qur’an dan dasar hukum Islam. Pada usia tujuh tahun itu pula ia sudah hafal nadham balaghah Jawahir Al-Maknum. Kemudian dalam usia sembilan tahun ia sudah mulai menghafalkan kitab gramatika bahasa dan sastra Arab Alfiyah Ibnu Malik yang juga dengan bimbingan langsung dari ayahnya. Sebagai orang yang taat beragama, ayah maupun ibunya memang mengharapkan agar anaknya bisa menjadi orang yang berbudi luhur di kemudian hari.
Pada usia 12 atau sekitar tahun 1926-1927, ia dipondokkan ke Pesantren Kasingan Rembang. Pesantren ini diasuh oleh KH Kholil bin Harun, mertua KH Bisri Musthofa. Di Pesantren Kasingan ia mendalami ilmu gramatika bahasa dan sastra Arab seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Balaghah dan Arudh selama kurang lebih 1,5 tahun. Pada usia 13, ia diperintah ayahnya dan mengabdi kepada kakeknya Kiai Muhammad Shidiq (Mbah Siddiq) di Jember, Jawa Timur.
Dikisahkan, pada saat Mu’thi berada di rumah kakeknya (Mbah Shiddiq) tiba-tiba datanglah Rasulullah SAW dan saat itu ia sedang bersama kakeknya. Rasulullah SAW bertanya kepada Mbah Shiddiq, “Siapakah anak ini?” Mbah Shiddiq menjawab “Ini cucu saya.” Kira-kira dua tahun kemudian, Rasulullah SAW datang kembali dan berpesan kepada Mbah Shiddiq supaya cucunya yang bernama Abdul Hamid diajak pergi haji. Kala itu, Abdul Hamid berusia 15 tahun, diajak Mbah Shiddiq menunaikan ibadah haji. Konon ketika ziarah ke makam Rasulullah SAW mereka bertemu muka dengan Rasulullah SAW dan sempat bersalaman. Keduanya juga mencium tangan Rasulullah SAW, bukan dalam keadaan tidur. Setelah pulang dari ibadah haji di Makkah, Kiai Hamid melanjutkan belajarnya di Pondok Pesantren Tremas yang didirikan oleh Kiai Manan. Pada saat itu Pesantren Tremas diasuh oleh Kiai Dimyati bin Abdullah bin Manan.
Mula-mula pada saat di Pondok Tremas Kiai Hamid hidup prihatin karena kiriman ayahnya hanya cukup untuk makan nasi tiwul. Celakanya, lokasi warung langganan Hamid jauh dari pondok. Apa boleh buat kaki melangkah setiap hari dengan memakai celana panjang dan bersepatu persis halnya orang berangkat ke kantor. Sepatunya disemir dengan mengkilap.
Lima tahun di sana, ia ditunjuk sebagai lurah pondok. Kala itu ia sekurun waktu dengan Kiai Abdul Ghofur Pasuruan, Kiai Harun Banyuwangi, dan Kiai Masduki Lasem. Selain sebagai lurah pondok, Kiai Hamid muda juga mengajar Ilmu Fiqih, Hadits, Tafsir dan sebagainya. Sehingga ia pun mulai mendapatkan bisyarah dan tidak memerlukan lagi kiriman dari orang tuanya, setidaknya tidak perlu makan nasi tiwul. Adapun perubahan nama Abdul Mu’thi menjadi Abdul Hamid dalam hal ini ada dua versi. Menurut buku karya Hamid Ahmad disebutkan, “Begini orang-orang itu banyak yang memanggilku Haji Hamid atau Kiai Hamid daripada orang-orang keliru lebih baik aku saja yang ngalah namaku diubah menjadi Hamid. Namun, tidak jelas kapan nama itu berubah,” kata Kiai Hamis saat wawancara KH Zaki Ubaid.
Sedangkan menurut buku karya Abdullah Shodiq nama itu berubah ketika ia mondok ke Kasingan Rembang sekitar usia 12-13 tahun.
- Pernikahan Beliau
KH. Abdul Hamid menikah dengan sepupunya sendiri yakni Nyai H Nafisah bin KH Ahmad Qusyairi bin KH Muhammad Shiddiq pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, Disebutkan dalam undangan akad nikah dilangsungkan di Masjid Jami Pasuruan pukul 13.00 WIB, kemudian dilanjutkan walimah pada pukul 14.00 WIB di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan.
Namun, hal ini tidak sesuai rencana karena mempelai pria terlambat datangnya. Terpaksa acara walimah dimulai saja meski tanpa kehadiran mempelai pria. Baru pada pukul 17.00 WIB, rombongan yang ditunggu datang juga. Akibatnya, para tamu sudah pulang dan akad nikah disaksikan oleh beberapa keluarga saja.
“Kok cek telate? (Kok datang telat?)” tanya KH Achmad Qusyairi kepada Mbah Ma’shum selaku pemimpin rombongan dari Lasem. “Anu, takjak (Saya ajak) mampir-mampir ziarah ke makam Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat,” jawab Mbah Ma’shum. “Lha manten (pengantin) kok diajak ziarah?” ujar KH Akhmad Qusyairi.
Apa boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan. Sejak itu, KH. Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya.
Lima atau enam tahun kemudian, KH. Abdul Hamid pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini KH. Abdul Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, KH. Abdul Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.
Kendati demikian tidak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan ia sedemikian rupa dapat menutupinya sehingga, tak ada orang lain yang mengetahui. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orang tua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, dia tidak lekas naik derajatnya),” katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.
Kesabaran Kiai Hamid juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menurut Kiai Idris, mereka tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Kiai Hamid sangat tegas.
Setelah beberapa bulan setelah menikah, Kiai Hamid diperintah oleh KH Ahmad Qusayri menggantikan kedudukannya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah. Sedangkan KH Ahmad Qusayri pindah ke Glenmore Banyuwangi, mengajar dan mendirikan pesantren sendiri.
Kiai Hamid memang sosok yang rajin belajar. Ia sering membeli kitab untuk dipelajari sendiri. Bahkan, setelah berkeluarga di Pasuruan, ia masih mengaji kepada Habib Ja’far bin Syichan Asegaf, seorang tokoh ulama yang sudah terkenal waliyullah.
- Berguru Kepada Habib Ja’far Syaikhon Assegaf
Salah Satu guru beliau yaitu habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf. Beliau merupakan guru utama dari Kyai Hamid. Saat menimba ilmu dengan Habib Ja’far lah, potensi spiritual Kyai Hamid terasa. Selain itu Kyai Hamid memiliki keistimewaan tersendiri yang sangat sulit dicapai oleh orang lain, sehingga Habib Ja’far mempercayakan kepada beliau untuk menjadi imam sholat Maghrib dan Isya’ di kediaman Habib Ja’far.
Menurut beberapa riwayat, sewaktu berada di Pasuruan Kiai Hamid mempunyai rutinan yakni setiap sore menghadiri pertemuan pengajian dengan metode mudzakarah yang diselenggarakan oleh Habib Ja’far bin Syichan pukul 16.30-19.30 WIB. Dalam pengajian tersebut dihadiri oleh para ulama yang spesifik membahas diniyah ini, dipergunakan kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghozali dalam hal ini Kiai Hamid sering ditunjuk oleh Habib Ja’far sebagai juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan aplikasi masalah dari beberapa poin kalimat.
- Teladan Sifat KH Abdul Hamid Pasuruan
KH. Abdul Hamid Pasuruan adalah ulama yang terkenal zuhud. Semasa KH. Abdul Hamid Pasuruan menimba ilmu kepada Habib Ja’far, beliau selalu takzim. Bahkan, ketika Habib Ja’far wafat dan KH. Abdul Hamid Pasuruan berziarah ke makam Habib Ja’far, Kyai Hamid tidak berani duduk lurus pada posisi kepala tetapi selalu duduk pada posisi kaki habib Ja’far. Hal ini dilakukan sebagai bentuk ta’dzim dan tawadhu’ terhadap gurunya.
Ketika KH. Abdul Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, KH. Abdul Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat. Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu.
Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu’ itu. Beliau memang rendah hati (tawadu). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan.
Kiai Hasan Abdillah pernah mengatakan, “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok”. Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan.
Mantan Menteri Agama dan juga junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas, Prof. Dr. Mukti Ali, pernah mengatakan, “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya.”
Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayyid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekkah, bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia. Sikap tawadu itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau.
Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadu beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW., “Barangsiapa bersikap tawadu, Allah akan mengangkatnya.”
- Wafat
KH. Abdul Hamid, sama seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).
Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Pada Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah.
Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un. Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam.
Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Yogyakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia.
- Sumber:
https://www.nu.or.id/tokoh/kh-abdul-hamid-pasuruan-dari-masa-kecil-hingga-karamahnya-WCsFz
https://www.laduni.id/post/read/14659/biografi-kh-abdul-hamid-pasuruan
https://hilmandwi.blogspot.com/2018/08/sejarah-khabdul-hamid-pasuruan.html
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id